Kopi Dior di Chengdu. Carhartt Coffee di London. Santander Work Café di Brooklyn.
Di seluruh dunia, merek mulai dari rumah mode mewah, pakaian kerja, sampai bank membuka kedai kopi.
Fenomena toko yang menyediakan kedai kopi sebenarnya bukan hal baru—siapa pun pernah lihat Starbucks di dalam Target pasti tau. Tapi jumlah kedai kopi yang dimiliki dan dioperasikan merek sendiri semakin banyak. Ralph’s Coffee, milik Ralph Lauren, dibuka di Manhattan tahun 2014, dan sekarang ada Blue Box Café di Tiffany & Co., Capital One Café, dan Uniqlo Coffee di sekitar lokasinya di Fifth Avenue.
Setelah pandemi, minat terhadap "tempat ketiga"—lokasi untuk menghabiskan waktu selain rumah dan kerja—kembali meningkat. Di saat bersamaan, merek berusasaha memperluas basis pelanggan online dan offline dengan investasi di pengalaman pelanggan. Kedai kopi sepertinya cocok untuk dua tujuan ini.
Minum, minum, lanjut
Awal tahun ini, Uniqlo membuka kedai kopi pertamanya di Amerika Utara di toko Fifth Avenue untuk "meningkatkan pengalaman belanja" dan menunjukkan citra merek yang ramah, kata Nicolas Cessot, kepala pemasaran Uniqlo Amerika Utara.
"Ini proposisi branding yang bagus," ujar Cessot. "Ini toko utama global, jadi kesempatan untuk menyebarkan kesadaran merek ke pelanggan dari seluruh dunia."
Uniqlo sudah punya kedai kopi di Tokyo dan Manila. Merek lain seperti Maison Kitsuné juga mulai dengan Café Kitsuné di Okayama, Jepang tahun 2013. Awal tahun ini, Muji membuka pasar makanan di Manhattan, pertamanya di AS.
Tidak hanya merek luar negeri yang memperluas penawaran hospitality. Merek AS seperti Kate Spade dan Coach sudah bereksperimen dengan konsep ini di Dubai dan Jakarta, sementara Coach juga membuka kedai kopi di Texas dan New Jersey.
Selain menjangkau pelanggan baru, kedai kopi merek memungkinkan mereka menarik orang dengan minat berbeda—termasuk yang mungkin tidak ingin beli baju, tapi mau secangkir kopi, kata Cessot. Ini juga alasan merek mewah seperti Dior dan Ralph Lauren buka kafe: menjangkau orang di luar target pasar biasa, terutama yang mungkin tidak mampu beli tas mahal tapi bisa beli latte seharga $7.
"Memberi kesempatan orang terlibat dengan merek dari sisi gaya hidup, meski mereka tidak bisa beli produk," kata Michelle Baumann dari VML.
Tapi, belanja kecil seperti kopi bisa meningkatkan "dwell time" pelanggan, yang berarti lebih banyak waktu untuk pertimbangkan belanja besar. "Semakin lama di toko, semakin mungkin kamu melihat-lihat dan membeli," ujar Baumann.
Dan, lebih mungkin untuk posting di media sosial. Aritzia sudah mengoperasikan A-OK Cafe sejak 2018, dan pelanggan sering membagikan foto minuman mereka. Daniel Boulud, koki di Blue Box Café Tiffany & Co., bilang dengan media sosial saat ini, kafe lebih menarik berkat interior warna-warninya.
"Kafe berperan besar dalam amplifikasi dan menciptakan ekuitas earned," kata Baumann. "Ada ruang yang Instagrammable dan eksposur media sosial besar."
Setelah buka kedai kopi di Fifth Avenue, Cessot bilang Uniqlo melihat banyak konten buatan pengguna tentang lokasi ini di TikTok dan Instagram.
"Kami mendorong orang untuk buat konten agar bisa terus menyebar kesadaran merek di seluruh negeri," katanya.
"Bagaimana mempersonifikasikan merek?"
Baumann bilang, baik itu YSL Café di Paris atau kafetaria IKEA, tujuannya sama: meningkatkan pengalaman pelanggan.
Di Capital One, yang buka Capital One Café pertamanya tahun 2014, ini memang tujuannya, kata Jennifer Windbeck. Ide ini muncul karena pelanggan menghargai interaksi langsung untuk layanan dan kebutuhan keuangan.
"Ada tujuan besar di kafe ini, bukan sekadar perbankan dasar," kata Windbeck. "Ini tentang ‘Bagaimana mempersonifikasikan merek, dan seperti apa pengalaman langsungnya?’"
Capital One sekarang punya lebih dari 60 kafe di kota-kota besar AS, termasuk yang baru dibuka di SoHo, New York awal bulan ini. Di dalam kafe, mereka mengadakan acara seperti kelas coding dan workshop literasi keuangan, yang membantu membangun citra merek bukan sekadar perusahaan kartu kredit. Mereka juga punya promo seperti minuman gratis setiap Senin selama musim MLB.
Meskipun tujuannya mendorong pendaftaran pelanggan, Windbeck bilang kafe dan promonya untuk semua orang, bukan hanya nasabah Capital One. Fasilitas seperti wi-fi gratis memungkinkan mereka memasarkan dengan cara "sangat tidak salesy" dan alami.
Masa depan cerah?
Meski banyak manfaat, buka kedai kopi bisa mahal karena biaya tenaga kerja dan bahan, belum lagi risiko noda dari tumpahan kopi. Baik Uniqlo maupun Capital One gak mau kasih tau biaya operasi atau apakah kafe mereka menghasilkan untung, meskipun Windbeck bilang ekspansi terus Capital One Cafés bisa dilihat sebagai tanda mereka puas sama hasilnya.
Ada juga risiko reputasi. Selain mungkin di-roast kayak biji kopi yg mereka sajikan, Baumann ngingetin kalo kafe merek bisa ancam citra merek kalo layanannya gak memadai. Apalagi kalo kopinya gak gratis, kata dia.
"Kalo pelayanannya buruk, orang nunggu lama, itu malah bakal ngerusak pengalaman belanja," ujarnya.
Untuk bantu di bagian itu, beberapa ritel pilih kerja sama sama merek kopi yang udah ada kayak Verve Coffee (mitra Capital One), La Colombe (di Ralph’s), dan Allpress (bekerja sama sama Carhartt dan Patagonia) buat jamin kualitas produk. Tapi kayak bisnis lain, ada juga risiko untuk mitra, kata Baumann, contohnya Ralph’s yg makin dikenal sebagai destinasi turis.
Tapi, dia yakin makin banyak merek yg ikut tren ini, apalagi bisa jadi cara buat kasih kejutan ke pelanggan dengan tambahan layanan. Setidaknya, pengunjung tau satu hal pasti: gak ada yg bakal minta mereka tinggalkan gelas kopi di pintu.
Laporan ini awalnya terbit di Marketing Brew.