Indonesia Bergegas Atasi Sampah Plastik pada 2029 di Tengah Krisis yang Meningkat

Badung, Bali (ANTARA) – Dunia sedang hadapi tiga masalah yang saling terkait: perubahan iklim, kehilangan biodiversitas, dan polusi—semuanya mengancam bumi dan umat manusia.

Ketiga isu ini erat kaitannya dengan polusi plastik, yang jadi fokus Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, diperingati pada 5 Juni.

Polusi plastik merusak ekosistem dan akhirnya menyebabkan kematian flora dan fauna. Kerusakan ekosistem—terutama yang punya kapasitas penyimpanan karbon besar, seperti mangrove—adalah salah satu faktor yang bikin suhu permukaan bumi naik.

Plastik jadi bahan buangan terbesar kedua di Indonesia setelah sampah makanan. Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), sampah plastik mencapai 19,74 persen dari 34,2 juta ton sampah yang dilaporkan oleh 317 kabupaten/kota pada 2024.

Angka ini meningkat, dari 11 persen di 2010 jadi 19,26 persen di 2023.

Tidak seperti sampah organik, misalnya sisa makanan, yang bisa terurai alami, plastik—dibuat dari bahan bakar fosil—butuh ratusan tahun untuk hancur.

Bahkan ketika plastik terurai sebagian, ia tetap ada sebagai mikroplastik dan nanoplstik—partikel kecil yang masuk ke tubuh hewan dan manusia, menumpuk, dan sebabkan masalah kesehatan.

Data dari Program Lingkungan PBB (UNEP) perkirakan, secara global, sekitar 9 hingga 14 juta ton sampah plastik masuk ke laut di 2020. Jumlah ini bisa naik jadi 23-37 juta ton pada 2040, dan 155-265 juta ton pada 2060.

Menurut Muhammad Reza Cordova, peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), 10-20 persen sampah dari aktivitas di Indonesia berakhir di perairan internasional, bahkan mungkin sampai ke Afrika Selatan dalam setahun.

Penelitiannya juga soroti potensi kerugian ekonomi dari sampah plastik yang bocor ke laut. Berdasarkan perkiraan tahunan rata-rata, 484.000 ton sampah bocor ke laut, dengan kerugian ekonomi diperkirakan antara Rp25 triliun (sekitar US$1,5 miliar) hingga Rp255 triliun (sekitar US$15,3 miliar) per tahun.

MEMBACA  Robot yang Mampu Memperbaiki Diri Berhasil Diciptakan

Di sisi pemerintah, sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024, Kementerian Lingkungan Hidup ditugaskan untuk tangani masalah sampah Indonesia—mulai dari hentikan impor bahan baku untuk industri daur ulang hingga tindakan tegas pada TPA yang buang sampah sembarangan.

Sejauh ini, kementerian sudah beri sanksi administratif pada 343 TPA yang dikelola pemerintah daerah.

Beberapa TPA bahkan ditutup, meski ada protes warga, seperti TPA Basirih di Banjarmasin.

Untuk capai target pengelolaan sampah 100 persen pada 2029, pemerintah percepat upaya, termasuk bangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di 33 lokasi, naik dari target awal 12.

Pengembangan dan penggunaan bahan bakar dari sampah (RDF) juga dikejar. Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq minta fasilitas seperti Pabrik RDF Rorotan di Jakarta, yang dapat penolakan warga, segera beroperasi.

Tapi, semua solusi ini tidak akan berhasil tanpa kolaborasi antar pemangku kepentingan: pemerintah, masyarakat, komunitas, dan bisnis.

Upaya Jangka Panjang

Mengubah kebiasaan orang susah. Bahkan tragedi TPA Leuwigajah di Jawa Barat tahun 2005, yang menewaskan 157 orang, gagal tingkatkan kesadaran publik soal pentingnya pengelolaan sampah yang benar.

Perlu disadari bahwa mengubah perspektif dan kebiasaan publik soal sampah butuh waktu—dan tidak ada waktu lebih baik untuk memulai selain sekarang. Perubahan ini penting untuk dukung teknologi yang rencananya akan digunakan pemerintah.

Indonesia sudah punya instrumen hukum kunci untuk mulai perubahan: UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Langkah selanjutnya adalah pastikan kepatuhan dari semua sektor. Sosialisasi publik, didampingi pengawasan dan rasa tanggung jawab individu, sangat penting untuk capai tujuan ini.

Sistem pengelolaan sampah yang libatkan masyarakat secara aktif harus dijalankan konsisten, dengan kepatuhan kuat, diintegrasikan ke semua tingkat pendidikan oleh pemerintah, dan didukung bisnis.

MEMBACA  ANTARA menjalin kerjasama dengan CMG, Xinhua

Contoh positif adalah larangan kantong plastik sekali pakai di beberapa kota, yang diterapkan pemerintah daerah.

Survei tahun 2023 oleh perusahaan riset digital Populix, dengan 1.018 responden, temukan bahwa 80 persen sudah bawa tas belanja dan botol minum sendiri.

Kemajuan ini tidak hanya hasil regulasi, tapi juga partisipasi bisnis—misalnya toko yang tidak lagi sediakan kantong plastik sekali pakai atau kenakan harga tinggi untuk itu.

Ini mencerminkan formula sukses untuk implementasi: regulasi, pengawasan, dan partisipasi bisnis—yang akhirnya membentuk kebiasaan masyarakat.

Jika pendekatan ini dipertahankan dan diperluas, target Indonesia untuk pengelolaan sampah 100 persen pada 2029, seperti di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), bisa jadi kenyataan, bukan hanya angan.