Parlemen Latvia telah menggelar pemungutan suara untuk menarik diri dari konvensi internasional yang bertujuan melindungi perempuan dari kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, setelah perdebatan panjang dan intens di gedung DPR.
Ribuan orang memprotes keputusan tersebut di Riga pekan ini. Kini, keputusan final berada di tangan Presiden Edgars Rinkēvičs untuk menyetujui atau menolak rancangan undang-undang itu.
Dikenal sebagai Konvensi Istanbul, perjanjian tahun 2011 ini baru berlaku di Latvia tahun lalu, mewajibkan pemerintah membentuk undang-undang dan layanan pendukung untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan.
Latvia menjadi negara Uni Eropa pertama yang bergerak meninggalkan traktat tersebut. Turki telah menarik diri pada 2021, langkah yang dinilai sebagai kemunduran besar oleh badan HAM terkemuka, Dewan Eropa.
Perjanjian ini diratifikasi oleh UE pada 2023, namun kelompok-kelompok ultra-konservatif berargumen bahwa fokus konvensi pada kesetaraan gender merusak nilai keluarga dan mempromosikan “ideologi gender”.
Setelah debat 13 jam di Saeima, para anggota parlemen Latvia memutuskan dengan suara 56 banding 32 untuk menarik diri dari traktat. Inisiatif ini diusung partai oposisi namun didukung pula oleh politisi dari salah satu dari tiga partai koalisi pemerintahan, Union of Greens and Farmers.
Hasil ini merupakan pukulan bagi Perdana Menteri Evika Siliņa yang beraliran tengah-kanan, yang bergabung dengan para pemrotes di luar parlemen awal pekan ini. “Kami tidak akan menyerah, kami akan berjuang agar kekerasan tidak menang,” ujarnya kepada mereka.
Salah satu kekuatan politik utama di balik penarikan diri ini adalah Latvia First, yang ketuanya Ainars Šlesers menyerukan rakyat Latvia untuk memilih antara “keluarga natural” dan “ideologi gender dengan berbagai jenis kelamin”.
Ombudsman Latvia, Karina Palkova, menyerukan agar traktat ini tidak dipolitisasi. Kelompok Equality Now menyatakan ini “bukan ancaman bagi nilai-nilai Latvia, melainkan sarana untuk mewujudkannya”.
Keputusan pada hari Kamis itu memicu gelombang protes baik di dalam maupun luar Latvia.
Sebanyak 22.000 orang telah menandatangani petisi agar Latvia tidak meninggalkan perjanjian ini. Lembara hak perempuan Centrs Marta menggelar unjuk rasa Kamis depan, menuduh para anggota parlemen tidak mendengarkan suara rakyat Latvia.
Ketua majelis parlemen Dewan Eropa, Theodoros Rousopoulos, menyatakan Latvia telah mengambil keputusan terburu-buru yang dipicu disinformasi. Menurutnya, ini merupakan “langkah mundur yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat meresahkan bagi hak perempuan dan hak asasi manusia di Eropa”.
Sejak Turki meninggalkan konvensi empat tahun silam, femisida dan kekerasan terhadap perempuan meningkat drastis, imbuhnya.
Karena suara yang mendukung tidak mencapai mayoritas dua pertiga, presiden berwenang mengembalikan RUU ini untuk pembacaan ulang apabila memiliki keberatan.
Presiden Rinkēvičs menyatakan di X bahwa ia akan menilai keputusan ini sesuai konstitusi, “dengan mempertimbangkan aspek kenegaraan dan hukum, bukan pertimbangan ideologis atau politis”.
Pekan lalu, anggota lain dari koalisi pemerintah, Partai Progresif, menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi.
https://awpwriter.org/app_themes/Quickstart_CitiesResponsive/h.html?io0=XbZr5