Tiga belas anak meninggal dunia bulan lalu akibat kelangkaan pangan parah di kamp pengungsian di negara bagian Darfur Timur, Sudan, yang dilanda perang, menurut para tenaga medis.
Jaringan Dokter Sudan, sebuah organisasi profesional yang anggotanya bekerja di dalam Kamp Lagawa, melaporkan "memburuknya kondisi kemanusiaan" dan malnutrisi yang meluas—krisis kelaparan akibat perang saudara 27 bulan yang telah menghancurkan negara itu.
Terletak di kota El-Daein, pemukiman ini menjadi tempat tinggal setidaknya 7.000 orang dan kerap menjadi sasaran serangan kelompok bersenjata.
Kelaparan pertama kali teridentifikasi tahun lalu di sebuah kamp di wilayah barat Sudan, Darfur, dan sejak itu menyebar ke daerah lain.
Pada Selasa, dalam pernyataan terkait Kamp Lagawa, Jaringan Dokter Sudan menulis: "Jaringan ini mendesak komunitas internasional dan organisasi kemanusiaan untuk segera bertindak menyediakan makanan dan layanan kesehatan dasar bagi penghuni kamp, terutama anak-anak dan ibu hamil."
El-Daein adalah ibu kota Darfur Timur, sebuah negara bagian yang sepenuhnya dikendalikan oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF), kelompok paramiliter yang sedang berperang melawan tentara.
Kini memasuki tahun ketiga, perang saudara telah melumpuhkan jaringan kemanusiaan, meruntuhkan ekonomi, dan menghancurkan layanan sosial. Faktor-faktor ini, dan lainnya, memicu krisis pangan.
Selain kelaparan, kelompok bantuan juga memperingatkan wabah kolera di Darfur.
PBB menyatakan kasus penyakit ini meningkat di kota Tawila, dengan 1.500 infeksi serius, baik yang dicurigai maupun terkonfirmasi, dilaporkan sejak Juni.
Rusaknya layanan air dan sanitasi, ditambah cakupan vaksinasi yang rendah, meningkatkan risiko wabah kolera, kata PBB.
Sudan terjebak dalam perang saudara pada April 2023 setelah perseteruan sengit memperebutkan kekuasaan antara tentara dan RSF.
Kedua rival ini sebelumnya bersekutu—merebut kekuasaan bersama dalam kudeta—namun berselisih karena rencana internasional menuju pemerintahan sipil.
Ini menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terparah di dunia—puluhan ribu warga sipil tewas, lebih dari 12 juta mengungsi, dan hampir satu juta orang mengalami kelaparan.