Lebih dari 700 warga Palestina tewas saat berusaha mendapatkan makanan di Jalur Gaza dalam beberapa pekan terakhir, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Gaza. Hal ini memicu kecaman baru terhadap skema bantuan yang kontroversial yang didukung oleh Amerika Serikat dan Israel.
Kementerian Kesehatan menyatakan pada Sabtu bahwa setidaknya 743 warga Palestina tewas dan lebih dari 4.891 lainnya terluka saat mengantri bantuan di lokasi distribusi Gaza Humanitarian Foundation (GHF).
GHF, yang mulai beroperasi di wilayah Palestina yang dibombardir sejak akhir Mei, menuai kritik luas menyusul berbagai laporan bahwa kontraktornya serta pasukan Israel menembaki pencari bantuan.
“Tragisnya, ini merupakan perkiraan konservatif korban yang berada di titik distribusi, menunggu paket makanan,” kata Hani Mahmoud dari Al Jazeera mengenai data terbaru tersebut.
Melaporkan dari Kota Gaza, Mahmoud menyebut serangan terhadap pencari bantuan terjadi saat keluarga Palestina putus asa memberi makan keluarga mereka di tengah kelangkaan parah akibat blokade Israel.
“Orang-orang kelaparan. Mereka menjatah persediaan. Banyak keluarga tidak makan. Ibu-ibu di sini melewatkan makan demi memberi anak-anak mereka,” ujarnya.
Awal pekan ini, laporan The Associated Press mengutip kontraktor AS yang menyatakan amunisi tajam dan granat setrum digunakan terhadap warga sipil Palestina di lokasi distribusi GHF.
Dua kontraktor AS yang tidak disebutkan namanya mengatakan staf bersenjata berat seolah bertindak semaunya. GHF membantah laporan tersebut sebagai “sama sekali tidak benar” dan menegaskan mereka “sangat serius menangani keamanan lokasi.”
Administrasi Presiden AS Donald Trump juga membela GHF. Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan kelompok ini “satu-satunya entitas yang berhasil menyalurkan makanan dan bantuan ke Jalur Gaza.”
Akhir Juni lalu, pemerintahan Trump berjanji memberikan $30 juta untuk organisasi tersebut.
Pada Sabtu, GHF melaporkan dua pekerja AS di Khan Younis, Gaza selatan, terluka akibat granat yang dilemparkan usai distribusi makanan. “Mereka dalam kondisi stabil,” kata mereka. Pelaku serangan belum diketahui.
Lembaga kemanusiaan dan HAM terkemuka menuntut penutupan segera GHF, menuduhnya “memaksa dua juta orang masuk ke zona militer yang padat dan penuh kekerasan.”
Amnesty International menyebut operasi GHF sebagai “skema militerisasi yang tidak manusiawi dan mematikan.”
“Semua bukti, termasuk kesaksian korban, menunjukkan GHF dirancang untuk menenangkan kekhawatiran internasional sekaligus menjadi alat genosida Israel,” kata Amnesty.
Namun, di tengah blokade Israel yang menyebabkan kelangkaan makanan, air, dan pasokan lain, banyak warga Gaza merasa tak punya pilihan selain meminta bantuan GHF meski berisiko.
“Saya terpaksa pergi ke pusat bantuan karena anak-anak saya tidak makan selama tiga hari,” kata Majid Abu Laban, korban serangan di lokasi GHF, kepada Al Jazeera.
“Kami berusaha membohongi anak-anak, tapi mereka kelaparan,” ujarnya. “Jadi saya mempertaruhkan nyawa ke titik distribusi di Netzarim.”
“Saya berjalan tengah malam demi mendapat makanan. Saat kerumunan memadat, pasukan Israel menembakkan artileri. Dalam kekacauan itu, semua orang berusaha bertahan.”