Melbourne, Australia – Lee Little mengingat kembali panggilan telepon dengan putrinya pada Desember 2017; itu hanya beberapa menit sebelum Alicia tewas.
“Saya berbicara dengannya 15 menit sebelum dia meninggal,” kata Little kepada Al Jazeera.
“Saya tanya dia, apa dia baik-baik saja? Apa dia mau kami menjemput? Dan dia bilang, ‘Nggak, aku ada mobil kok. Aku baik-baik saja, Bu, semua barang udah dikemas.’”
Alicia Little sedang berada di ambang untuk akhirnya meninggalkan hubungan penuh kekerasan yang telah berlangsung selama empat setengah tahun.
Tidak hanya menelepon ibunya, Alicia juga telah menghubungi hotline darurat polisi untuk minta bantuan, karena tunangannya, Charles Evans, sedang mengamuk dalam keadaan mabuk.
Alicia tahu apa yang diharapkan dari pasangannya: kekerasan ekstrem.
Evans memiliki riwayat penyiksaan terhadap Alicia, dengan ibunya menceritakan kepada Al Jazeera kali pertama hal itu terjadi.
“Pertama kalinya dia benar-benar memukulinya, dia sedang menelepon saya. Dan sesaat kemudian, saya dengar dia mendatangi Alicia dan mencoba merebut ponselnya,” kata Little.
“Saya dengar dia berkata, ‘Lepaskan tanganmu dari leherku. Aku nggak bisa napas.’ Dan sesaat kemudian, kau dengar dia bilang, ‘Kau lebih baik mati.’”
Little bercerita bagaimana dia mengambil foto luka-luka putrinya yang mengerikan.
“Dia punya tulang rusuk patah. Tulang pipi patah, rahang patah, mata hitam, dan di bagian lehernya dimana dia mencekik, bekas jarinya kelihatan. Itu memar, dan di bagian samping tubuhnya tempat dia menendang, bekas kakinya terlihat jelas.”
Seperti banyak hubungan abusive, sebuah pola akan muncul, dimana Alicia akan pergi sementara, hanya untuk kembali setelah Evans berjanji akan mengubah perilakunya.
“Ini terjadi terus-terusan selama empat setengah tahun,” kata Little.
“Dia akan memukulinya, dia akan pulang ke rumah, dan kemudian dia bilang ke saya, ‘Bu, dia bilang dia sudah cari pertolongan.’”
Namun kekerasannya justru semakin meningkat.
Lee Little dengan foto putrinya, Alicia Little, yang dibunuh oleh pasangannya pada tahun 2017. Pembunuh Alicia hanya menjalani hukuman penjara dua tahun delapan bulan untuk kejahatan tersebut [Ali MC/Al Jazeera]
Pada malam Alicia memutuskan untuk pergi untuk selamanya, Evans mengendarai mobil four-wheel-drive-nya ke arahnya, menyempitkan Alicia di antara depan kendaraan dan tangki air.
Alicia Little, berusia 41 tahun dan seorang ibu dari dua anak laki-laki, meninggal dalam beberapa menit sebelum polisi yang dihubunginya tiba.
Saat ia terbaring menarik napas terakhirnya, rekaman kamera pengawas kemudian menunjukkan pembunuhnya minum bir di pub lokal, tempat ia pergi setelah menabrak Alicia.
Evans ditangkap, dan setelah awalnya didakwa dengan pembunuhan, dakwaannya diturunkan menjadi mengemudi berbahaya yang mengakibatkan kematian dan gagal memberikan bantuan setelah kecelakaan kendaraan bermotor.
Dia dibebaskan dari penjara setelah hanya dua tahun delapan bulan.
Statistik
Alicia Little hanyalah satu dari banyak perempuan di Australia yang terbunuh setiap tahun, dalam apa yang oleh aktivis seperti Sherele Moody dari The Red Heart Campaign disebut begitu lazim sehingga merupakan “femisida”: pembunuhan terhadap perempuan oleh laki-laki yang ditargetkan.
Menurut data pemerintah, satu perempuan dibunuh di Australia setiap delapan hari rata-rata antara 2023-2024.
Moody, yang mendokumentasikan pembunuhan tersebut, membantah statistik itu, dan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa data tersebut tidak mewakili skala sebenarnya dari serangan mematikan terhadap perempuan di negara ini.
Data pemerintah mencatat “pembunuhan domestik”; perempuan terbunuh yang mengakibatkan vonis pembunuhan atau pembunuhan di luar kesengajaan.
Seperti dalam kasus Alicia Little, dakwaan yang lebih ringan yang dijatuhkan kepada pembunuhnya terkait pelanggaran lalu lintas dan tidak termasuk dalam kategori pembunuhan domestik menurut pelaporan pemerintah dan tidak tercermin dalam statistik.
“Salah satu senjata utama yang digunakan pelaku terhadap perempuan di Australia adalah kendaraan,” kata Moody kepada Al Jazeera.
“Mereka hampir selalu didakwa dengan mengemudi berbahaya yang mengakibatkan kematian. Itu bukan dakwaan pembunuhan. Itu tidak dihitung meskipun itu adalah tindak kekerasan domestik, sebuah tindakan kekerasan domestik yang dilakukan oleh pasangan,” kata Moody.
“Pemerintah meremehkan wabah kekerasan ini. Dan pada akhirnya, angka yang mereka gunakan mempengaruhi kebijakan mereka. Itu mempengaruhi keputusan pendanaan mereka. Itu mempengaruhi cara mereka berbicara kepada kita sebagai komunitas tentang kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.
Moody mengatakan bahwa antara Januari 2024 dan Juni tahun ini, dia telah mendokumentasikan 136 pembunuhan perempuan; banyak – seperti Alicia Little – oleh pasangan mereka. “Sembilan puluh enam persen kematian yang saya catat dilakukan oleh laki-laki.”
“Sekitar 60 persen kematian adalah akibat kekerasan domestik dan kekerasan dalam keluarga,” katanya.
Sherele Moody, dari The Red Heart Campaign, berbicara dengan media pada unjuk rasa Stop Killing Women awal tahun ini di Melbourne, Australia. Moody mengatakan data resmi pemerintah tidak mewakili skala sebenarnya dari ‘femisida’ di Australia [Ali MC/Al Jazeera]
Sementara banyak fokus pada keselamatan perempuan di ruang publik – misalnya, berjalan pulang sendirian di malam hari – Moody mengatakan tempat paling tidak aman bagi seorang perempuan sebenarnya adalah di rumahnya sendiri.
“Realitanya adalah, jika kau akan dibunuh, apakah kau laki-laki, perempuan, atau anak-anak, kau akan dibunuh oleh seseorang yang kau kenal,” katanya.
Data menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen korban perempuan yang dibunuh oleh orang asing, kematian yang sering kali diliput secara sensasional oleh media dan memicu debat publik tentang keselamatan perempuan.
“Ya, pembunuhan oleh orang asing memang terjadi, dan ketika itu terjadi, itu mendapat banyak fokus dan perhatian, dan itu membuat orang terbuai dalam rasa aman yang salah tentang siapa yang melakukan kekerasan,” kata Moody.
Kekerasan Laki-Laki di Australia
Patty Kinnersly, CEO Our Watch, satuan tugas nasional untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengatakan serangan terhadap perempuan adalah “hasil paling ekstrem dari pola kekerasan dan ketidaksetaraan berbasis gender yang lebih luas”.
“Ketika kami menyebut pendorong kekerasan berbasis gender, kami berbicara tentang kondisi sosial dan ketimpangan kekuasaan yang menciptakan lingkungan dimana kekerasan ini terjadi,” kata Kinnersly.
“Ini termasuk membenarkan atau memaafkan kekerasan terhadap perempuan, kontrol laki-laki atas pengambilan keputusan, stereotip gender yang kaku dan bentuk-bentuk maskulinitas yang dominan, serta hubungan antar teman laki-laki yang mendorong agresi dan ketidakhormatan terhadap perempuan,” ujarnya.
“Mengatasi pendorong berbasis gender sangat penting karena kekerasan terhadap perempuan bukanlah hal acak; itu mencerminkan ketidaksetaraan dan norma-norma yang tertanam sangat dalam di masyarakat.”
“Jika kita tidak menangani penyebab-pemicu mendasar ini, pencegahan jangka panjang tidak akan tercapai,” tambahnya.
Pola kekerasan laki-laki berakar sangat dalam pada sejarah kolonial Australia, di mana laki-laki diajarkan untuk menjadi tangguh secara fisik dan mental, sehingga mengnormalisasi agresi maskulin, tulis penulis Alana Piper dan Ana Stevenson.
“Selama sebagian besar abad ke-19, jumlah laki-laki jauh lebih banyak daripada perempuan dalam populasi Eropa di koloni-koloni Australia. Hal ini melahirkan budaya yang mengagungkan hipermaskulinitas sebagai ideal nasional,” tulis mereka.
Agresi maskulin kolonial juga mengakibatkan kekerasan ekstrem yang dilakukan terhadap perempuan Pribumi pada masa perbatasan, melalui pemerkosaan dan pembantaian.
Misogini dan rasisme juga dipromosikan di parlemen Australia selama abad ke-20, ketika para legislator menyusun undang-undang asimilasi yang bertujuan mengendalikan kehidupan perempuan Pribumi dan mengambil paksa anak-anak mereka sebagai bagian dari yang kini dikenal sebagai “Generasi yang Diambil”.
Hingga [sepertiga dari anak-anak Pribumi](https://humanrights.gov.au/our-work/education/bringing-them-home-community-guide-2007-update) dipisahkan dari keluarga mereka sebagai bagian dari serangkaian kebijakan pemerintah antara 1910 dan 1970, mengakibatkan genosida budaya yang meluas serta kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesehatan antargenerasi.
Warisan rasisme dan diskriminasi kolonial ini terus terwujud dalam kesenjangan sosioekonomi yang sangat besar yang dialami oleh masyarakat Pribumi hingga kini, termasuk kekerasan terhadap perempuan, menurut para aktivis.
Data pemerintah terbaru menunjukkan bahwa perempuan Pribumi 34 kali lebih mungkin dirawat di rumah sakit akibat kekerasan dibandingkan perempuan non-Pribumi di Australia, dan enam kali lebih mungkin meninggal akibat kekerasan dalam rumah tangga.
“Perempuan Aborigin dan Kepulauan Torres Strait adalah salah satu kelompok yang paling berisiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan pasangan intim di Australia,” kata CEO First Nations Advocates Against Family Violence (FNAAFV), Kerry Staines, kepada Al Jazeera.
“Tingkat yang sangat tidak proporsional ini adalah hasil dari ketidakadilan historis dan kegagalan sistemik yang berkelanjutan,” ujar Staines, termasuk pengusiran paksa masyarakat Pribumi, pengambilan anak paksa, dan runtuhnya struktur keluarga.
“Banyak komunitas Aborigin dan Kepulauan Torres Strait telah terdampak oleh trauma multigenerasi yang disebabkan oleh penyalahgunaan kelembagaan, pemenjaraan, dan marginalisasi. Ketika trauma tidak ditangani, dan layanan dukungan tidak memadai atau tidak aman secara budaya, risiko kekerasan, termasuk dalam hubungan, meningkat,” katanya.
Perempuan Pribumi juga merupakan kelompok yang paling cepat pertumbuhannya dalam penjara di Australia.
Pada malam tertentu, empat dari 10 perempuan di penjara adalah perempuan Pribumi, meskipun mereka hanya menyusun 2,5 persen dari populasi perempuan dewasa.
Staines mengatakan ada hubungan antara kekerasan domestik dan pemenjaraan.
“Ada hubungan yang jelas dan terdokumentasi dengan baik antara hiper-pemenjaraan masyarakat Aborigin dan Kepulauan Torres Strait dengan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga yang dialami di komunitas kami,” ujarnya.
“Terpisahnya orang tua dan pengasuh dari keluarga karena hukuman penjara meningkatkan kemungkinan keterlibatan perlindungan anak, ketidakstabilan perumahan, dan trauma antargenerasi, yang semuanya merupakan faktor risiko baik untuk pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah tangga.”
### ‘Budaya yang Toksik’
Meskipun Australia adalah salah satu negara Barat pertama yang memberikan hak pilih kepada perempuan, ketidaksetaraan yang berakar dalam tetap bertahan selama sebagian besar abad ke-20, dengan perempuan dikucilkan dari banyak kehidupan publik dan sipil, termasuk pekerjaan di sektor pemerintah dan kemampuan untuk duduk di juri, hingga tahun 1970-an.
Pengucilan ini dari posisi otoritas – termasuk sistem peradilan – memungkinkan budaya “menyalahkan korban” berkembang, khususnya dalam kasus-kasus pelecehan domestik dan serangan seksual, kata para aktivis.
Alih-alih meminta pertanggungjawaban pelaku laki-laki dan menangani kekerasan, fokus tetap pada tindakan korban perempuan: apa yang mungkin mereka kenakan, di mana mereka berada, dan sejarah seksual sebelumnya sebagai dasar untuk membagi kesalahan pada mereka yang telah menderita konsekuensi kekerasan berbasis gender.
Seperti halnya dengan Isla Bell, seorang perempuan berusia 19 tahun dari Melbourne, yang menurut polisi dipukul hingga tewas pada Oktober 2024.
![Poster pencarian untuk Isla Bell, yang dipukul hingga tewas pada Oktober 2024 [Ali MC/Al Jazeera]](gambar-isla-bell.jpg)
Pemberitaan media mengenai kematian Isla sebagian besar berfokus pada kehidupan pribadinya dan memberikan detail grafis tentang kematiannya, sementara sedikit perhatian diberikan kepada dua laki-laki yang didakwa atas dugaan pembunuhan Isla.
Ibu Isla, Justine Spokes, mengatakan pemberitaan itu “terasa sangat kasar”.
“Cara pembunuhan anak saya dilaporkan hanya menyoroti budaya toksik yang meresap dan sistemik di Australia,” kata Spokes, menggambarkan narasi “menyalahkan korban” seputar pembunuhan putrinya.
“Itu ditulis dengan cara yang sangat bias yang terasa sangat tidak hormat, merendahkan, dan mendegradasikan manusia,” katanya, seraya menambahkan bahwa masyarakat telah menjadi tidak peka terhadap kekerasan laki-laki terhadap perempuan di Australia.
“Ini sudah menjadi begitu dinormalisasi, yang saya pikir sebenarnya adalah tanda trauma, bahwa kita mati rasa terhadapnya. Ini sudah meresap begitu lama. Jika itu adalah psike mainstream di Australia, itu sangat berbahaya,” ujarnya.
“Saya sangat yakin bahwa budaya toksik dan misoginis yang meresap ini, pasti tertuang dalam hukum kita. Ini sangat kolonial,” tambahnya.
Pemerintah Australia, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anthony Albanese, telah berkomitmen pada tugas ambisius untuk menangani kekerasan terhadap perempuan dalam satu generasi.
Juru bicara dari Departemen Layanan Sosial mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemerintah telah menginvestasikan 4 miliar dolar Australia (US$2,59 miliar) untuk mewujudkan Rencana Nasional untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak 2022-2032.
“Pemerintah Australia mengakui tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak termasuk pembunuhan pasangan intim,” kata juru bicara tersebut dalam sebuah pernyataan.
“Mengakhiri kekerasan berbasis gender tetap menjadi prioritas nasional bagi Pemerintah Australia.”
Juru bicara itu menambahkan, “Upaya kami untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender dalam satu generasi bukanlah hal yang bisa dibiarkan begitu saja – kami secara ketat melacak, mengukur, dan mengevaluasi upaya-upaya tersebut, serta melakukan perubahan di mana perlu.”
Sebuah petisi yang mendokumentasikan perempuan-perempuan yang tewas di Australia sejak tahun 2008 pada protes “Stop Killing Women” di Melbourne, Australia [Ali MC/Al Jazeera]
Namun bagi Lee Little, ibu dari Alicia Little yang tewas pada 2017, upaya yang dilakukan belumlah cukup. Ia merasa keadilan tidak ditegakkan dalam kasus putrinya, menggambarkan hukuman ringan yang diterima pembunuh tersebut sebagai “sangat menyedihkan”.
Little kini mengajukan petisi untuk pembuatan basis data kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) nasional dalam upaya meminta pertanggungjawaban pelaku dan memungkinkan perempuan mengakses informasi mengenai catatan kriminal sebelumnya.
“Keluarga kami sangat menginginkan basis data nasional, karena para pelaku, saat ini, di mana pun di Australia, dapat melakukan kejahatan di satu negara bagian dan pindah ke lainnya, dan mereka tidak dikenali” sebagai pelaku di lokasi barunya, ujarnya.
Little menyatakan bahwa transparansi publik mengenai catatan kriminal sebelumnya akan melindungi perempuan dari memasuki hubungan yang berpotensi kasar sejak awal.
Namun, pemerintah federal Australia belum menerapkan basis data semacam itu, sebagian karena kompleksitas yurisdiksi negara bagian.
Kantor jaksa agung federal mengatakan kepada Al Jazeera bahwa “tanggung jawab utama untuk urusan kekerasan dalam rumah tangga dan kriminal berada pada negara bagian dan teritori, dengan masing-masing mengelola sistem penegakan hukum dan peradilannya sendiri.”
“Pembuatan register nasional pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang dapat diakses publik hanya dapat diimplementasikan dengan dukungan pemerintah negara bagian dan teritori, yang mengelola data dan perundang-undangan yang diperlukan.”
Meskipun terdapat keengganan yang jelas dalam hukum, Little tetap berkomitmen untuk menyuarakan kekerasan terhadap perempuan di mana pun ia melihatnya.
“Saya pernah berada di supermarket di mana terjadi kekerasan di depan saya, dan saya turut campur,” katanya.
“Saya akan menjadi suara untuk Alicia dan untuk basis data nasional hingga napas terakhir saya,” tambahnya.
Kellie Carter-Bell, seorang penyintas KDRT dan pembicara dalam protes “Stop Killing Women” di Melbourne, berkata kepada Al Jazeera: ‘Mata hitam pertamaku terjadi di usia 13. Mata hitam terakhirku di usia 36. Misiku berada di sini hari ini adalah mengajarkan perempuan bahwa kau bisa keluar dengan aman dan menjalani hidup yang sukses.’ [Ali MC/Al Jazeera]