Bilioner Elon Musk Tegaskan Pembentukan Partai Baru Usai Berseteru dengan Trump
CEO Tesla itu mengumumkan pembentukan partai politik baru setelah berselisih dengan Presiden AS Donald Trump terkait RUU kontroversial ‘One Big Beautiful Bill’.
Dalam unggahan di X pada Sabtu, Musk mendeklarasikan berdirinya "America Party" untuk "mengembalikan kebebasan" rakyat AS dan menantang sistem yang ia sebut sebagai "satu partai dominan". Ia mengutip jajak pendapat yang diunggah Jumat—tepat di Hari Kemerdekaan AS—menanyakan apakah publik ingin merdeka dari sistem dua partai (atau "uniparty") yang telah menguasai politik AS selama dua abad.
Survei yes-or-no itu mendapat lebih dari 1,2 juta respons.
"Dengan rasio 2:1, kalian menginginkan partai baru—dan kalian akan mendapatkannya!" tulis Musk.
"Dalam hal menghancurkan negeri dengan pemborosan dan korupsi, kita hidup di bawah sistem satu partai, bukan demokrasi. Hari ini, America Party lahir untuk memulihkan kebebasan kalian," tegasnya.
Langkah ini muncul di tengah memanasnya perseteruan Musk-Trump pascapengesahan RUU anggaran yang dinilai CEO SpaceX itu bakal memicu kebangkrutan AS. Padahal, Musk sempat menjadi pendana utama kampanye Trump pada 2024 dan memimpin Departemen Efisiensi Pemerintahan di awal periode kedua Trump.
Sebelumnya, Musk berancana menggalang dana untuk "menggulingkan" anggota parlemen pendukung RUU yang—menurut ahli—bakal menambah defisit AS sebesar $3,4 triliun dalam satu dekade.
"Mereka akan kalah di pemilu pendahuluan tahun depan, bahkan jika itu jadi aksiku terakhir," ancam Musk.
Belum ada tanggapan resmi dari Trump atau Gedung Putih. Namun, pekan ini, Trump mengancam mencabut subsidi miliaran dolar untuk perusahaan Musk dan bahkan mendeportasi miliader kelahiran Afrika Selatan itu.
Dampak partai baru ini pada Pemilu Paruh Waktu 2026 atau Pilpres 2028 masih belum jelas. Sehari sebelumnya, Musk menguraikan strategi: fiksi pada 2-3 kursi Senat dan 8-10 distrik DPR untuk menjadikan partainya "penentu suara kunci".
Meski kaya raya, menerobos duopoli Republik-Demokrat—yang berkuasa 160+ tahun—adalah tantangan berat. Apalagi, tingkat dukungan Trump di periode kedua masih konsisten di atas 40%.