Judul: Studi: Banyak Siswa China Termotivasi Belajar AI karena ‘Rasa Bersalah dan Malu,’ Bukan Kesukaan Tata letak visual: Font: Ukuran sedang, tebal untuk penekanan Warna: Hitam dengan aksen merah pada tanda kutip Spasi: Jarak antar barus proporsional untuk keterbacaan optimal

Meskipun Gen Z paling depan dalam pakai alat AI untuk tugas sekolah, bukan berarti mereka mau melakukannya.

Sebuah studi terbaru di jurnal Science of Learning menemukan banyak mahasiswa di Cina gunakan AI bukan karena suka, tapi karena tekanan dan malu.

AI makin populer di pendidikan tinggi, dan Gen Z yang paling sering pakai: laporan SurveyMonkey Februari lalu tunjukkan lebih dari 60% Gen Z pakai AI buat belajar.

Tapi, banyaknya AI di kehidupan kampus Gen Z tidak menceritakan sepenuhnya bagaimana perasaan mahasiswa. Peneliti di Cina temukan sedikit mahasiswa yang termotivasi gunakan AI karena keinginan sendiri, alias karena mereka merasa senang atau dapat manfaat.

“Ini artinya banyak mahasiswa belajar AI terutama karena rasa bersalah atau malu, bukan karena suka,” tulis penulis studi.

Selain tekanan untuk ikut perubahan pendidikan, mahasiswa di Cina khususnya takut “kehilangan muka” di depan teman-teman jika tidak pakai AI, karena bisa dianggap ketinggalan.

“Khawatir tentang citra diri bisa buat mahasiswa lebih fokus pada tekanan eksternal dalam belajar AI, karena ingin dapat persetujuan dan hindari penilaian negatif,” kata studi itu.

Motivasi eksternal vs internal untuk pakai AI

Tapi, karena AI mengubah dunia kerja, tekanan untuk belajar alat-alat AI makin besar bagi anak muda, kata Stephen Aguilar, profesor pendidikan di University of Southern California.

“Banyak mahasiswa sadar bahwa masa depan pekerjaan mereka tergantung pada pemahaman AI dan cara menggunakannya,” katanya ke Fortune.

Microsoft bahkan merumahkan 15.000 karyawan tahun ini karena fokus pada AI.

Tapi mahasiswa yang pakai AI karena tekanan eksternal mungkin kehilangan peluang yang diambil oleh mereka yang termotivasi internal, jelas Aguilar.

“Mereka mungkin tidak terdorong untuk paham alasan mendasar cara kerja AI,” katanya. “Sedangkan jika termotivasi internal, mereka akan lebih ingin eksplorasi dan berinovasi.”

MEMBACA  Bank Sentral Rusia Turunkan Suku Bunga untuk Pertama Kalinya Sejak 2022

“Itu cara kita dapat inovasi baru atau pemimpin yang paham implikasi etis AI,” tambahnya.

Meski penggunaan AI di pendidikan tinggi diatur oleh kebijakan pemerintah dan sekolah, guru punya peran besar dalam membentuk motivasi mahasiswa, kata Aguilar.

Dengan bukti beragam bahwa AI tingkatkan produktivitas, dosen harus berpikir cara mengenalkan alat AI yang bisa kembangkan motivasi internal.

Misalnya, alat AI apa yang bisa bantu mahasiswa berpikir kritis, bukan hanya kasih jawaban?

“Itu akan bantu mereka desain lingkungan belajar sendiri yang mendorong eksplorasi lebih dalam,” katanya. “Bukan hanya merasa terpaksa pakai teknologi terbaru supaya dapat kerja.”