Kamis, 18 September 2025 – 10:15 WIB
Jakarta, VIVA – Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (Fed), resmi memotong suku bunga acuan sebesar seperempat persen pada pertemuan Rabu kemarin, 17 September 2025. Saat ini, suku bunga berada di kisaran 4 persen hingga 4,25 persen dan menjadi yang terendah sejak November 2022.
Penurunan suku bunga ini adalah yang pertama kalinya tahun ini setelah pemotongan terakhir yang dilakukan Fed pada Desember 2024. Bank sentral AS menyatakan, penurunan suku bunga bertujuan untuk menstabilkan pasar tenaga kerja yang goyah. Selain itu, kebijakan tarif impor dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terus mendorong kenaikan harga-harga.
"Penyerapan tenaga kerja melambat dan risiko kenaikan angka pengangguran telah meningkat," ujar Ketua The Fed, Jerome Powell, seperti dikutip dari The Guardian pada Kamis ini.
Dalam kesempatan yang sama, Powell juga memperingatkan tentang inflasi yang terus meningkat. Menurutnya, kebijakan tarif impor menyebabkan kenaikan harga dalam waktu singkat dan bahkan dampak inflasinya bisa lebih berkepanjangan.
"Itu (inflasi) merupakan risiko yang perlu di evaluasi dan dikelola. Kewajiban kami adalah memastikan bahwa kenaikan harga tidak menjadi masalah yang berkelanjutan," ujar Fed.
Meskipun keputusan ini sesuai dengan harapan pasar, besar kemungkinan tidak akan memuaskan Trump. Trump telah berulang kali mengecam Fed dan mendesak agar suku bunga diturunkan lebih cepat.
Powell pertama kali memberi isyarat bahwa bank sentral akan menurunkan suku bunga dalam pidatonya di Simposium Jackson Hole pada akhir Agustus 2025 lalu. Saat itu, Powell menyebutkan ketidakpastian seputar kebijakan imigrasi dan perdagangan sebagai sumber ketidakpastian yang besar bagi perekonomian.
Ia juga menyoroti kondisi pasar tenaga kerja yang tidak stabil, dimana penyerapan tenaga kerja melambat sementara jumlah pencari kerja terus bertambah. Powell memperingatkan adanya risiko penurunan di pasar tenaga kerja yang dapat berujung pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran.
Risiko tersebut terlihat nyata ketika data ketenagakerjaan untuk bulan Mei dan Juni 2025 menunjukkan jumlah lapangan kerja direvisi turun sebanyak 258.000. Tingkat pengangguran pada bulan Agustus 2025 naik ke 4,3 persen, menjadi yang tertinggi sejak tahun 2021.
Di saat bersamaan, kebijakan tarif Trump memicu kenaikan harga. Inflasi pada bulan Agustus naik menjadi 2,9 persen setelah sebelumnya turun ke level 2,3 persen pada bulan April.
Yale Budget Lab memperkirakan bahwa kebijakan tarif ini akan membebani rumah tangga rata-rata di AS sebesar $2.300 atau sekitar Rp 37,8 juta (asumsi kurs Rp 16.472 per dolar AS).
Kekhawatiran terbesar para ekonom adalah kemungkinan bahwa pengangguran dan harga akan terus naik secara bersamaan. Jika benar terjadi, kondisi ini dapat menyebabkan stagflasi.