Melindungi anak-anak dari ancaman eksploitasi seksual online

Perkembangan pesat teknologi digital telah memberikan banyak manfaat namun juga menghadirkan ancaman yang signifikan, termasuk risiko eksploitasi seksual terhadap anak. Masalah ini terlihat dalam tingginya jumlah kasus eksploitasi anak yang terkait dengan konten pornografi online, di mana pelaku menggunakan teknologi untuk merayu dan memanipulasi anak di bawah umur.

Eksploitasi seksual anak secara online merujuk pada segala bentuk penyalahgunaan melibatkan anak-anak dalam aktivitas seksual, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang difasilitasi oleh Internet. Pelaku atau pihak ketiga sering kali memperoleh keuntungan dari aktivitas tersebut, yang memperparah masalah tersebut.

Dari Mei hingga November 2024, penyidik Direktorat Cyber Crime Polri berhasil menangkap 58 tersangka terkait dengan kejahatan pornografi anak secara online. Tersangka-tersangka ini terkait dengan 47 kasus pornografi anak.

Pada awal 2025, Kepolisian Metro Jakarta berhasil mengungkap kasus konten pornografi anak yang dijual secara online. Sebanyak 689 video dan gambar terkait dengan anak-anak berhasil diamankan. Pelaku, yang diidentifikasi sebagai RYS, 29 tahun, menjual konten pornografi tersebut melalui aplikasi pesan Telegram. Dia menawarkan paket langganan dengan harga mulai dari Rp10 ribu hingga Rp15 ribu untuk tiga bulan kepada konsumen. Beberapa video menunjukkan eksploitasi anak di bawah usia 18 tahun.

Direktur unit cyber Kepolisian Metro Jakarta, Komisaris Besar Roberto Pasaribu, menekankan bahwa anonimitas di dunia digital merupakan tantangan besar dalam mengungkap kasus pornografi anak. Oleh karena itu, Polri akan terus memperkuat sinergi dengan lembaga dan institusi lain, termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan organisasi non-pemerintah, untuk memberantas pornografi anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memuji deteksi kasus pornografi anak karena hal ini dapat membantu mencegah penyebaran konten tersebut lebih lanjut. Wakil Bidang Perlindungan Anak di kementerian, Nahar, menekankan pentingnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam mengatasi kejahatan semacam ini. Dia juga menyoroti peran penting keluarga dalam mencegah pornografi dan eksploitasi anak.

MEMBACA  Siapakah Penemu Sebenarnya dari Bitcoin?

Dalam hal ini, pendidikan seksual yang tepat dan benar bagi anak dianggap penting. Hal ini penting untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko pornografi dan dampak negatifnya pada anak-anak. Orangtua diminta untuk berkomunikasi secara terbuka dengan anak-anak mengenai pornografi. Mereka juga didorong untuk memperhatikan anak-anak mereka, memantau aktivitas online mereka dengan ketat, dan sering memberikan pujian kepada mereka.

“Kita harus memastikan bahwa anak-anak kita terlindungi dari ancaman ini karena dampaknya jangka panjang,” katanya.

Pemerintah Indonesia, melalui pusat panggilan SAPA 129, memberikan dukungan dan bantuan, baik emosional maupun profesional, kepada korban anak dari eksploitasi semacam ini. Proteksi anak di ruang digital

Pemerintah terus mempercepat penyusunan Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Perlindungan Anak Online. Saat ini, rancangan peraturan tersebut masih dalam tahap harmonisasi. Peraturan tersebut merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi anak-anak yang sangat rentan menjadi korban kekerasan di ruang digital.

Hal ini penting karena penyebaran konten pornografi anak dapat memiliki dampak negatif pada perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikologis. “Kita perlu menyadari bahaya kecanduan game online, pornografi, dan bentuk penyalahgunaan teknologi lainnya yang dapat merugikan perkembangan kognitif dan emosional anak-anak,” peringat Nahar.

Dari Januari hingga Desember 2024, Sistem Informasi Online untuk Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 11.770 kasus kekerasan seksual terhadap anak dari total 19.626 kasus yang terkait dengan anak-anak. Jumlah kasus eksploitasi anak mencapai 279, sedangkan jumlah kasus kekerasan fisik dan psikologis adalah 4.889 dan 5.837, secara berturut-turut.

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menekankan pentingnya memblokir konten ilegal dan mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap mereka yang terlibat, termasuk pemasok dan distributor konten. “Ini merupakan tantangan besar bagi generasi kita. Jejak digital bersifat permanen dan dapat memengaruhi masa depan anak, bahkan ketika mereka tumbuh menjadi dewasa dan pemimpin bangsa,” ujarnya.

MEMBACA  Atikoh Ganjar Melarang Berfoto dengan Anak-anak di Dekat Makam Keluarga

KPAI juga menekankan perlunya rehabilitasi bagi korban anak yang dieksploitasi karena pemulihan psikologis sangat penting untuk membantu mereka pulih dari trauma. Penting juga untuk meningkatkan literasi digital semua orang untuk memastikan perlindungan dan pemahaman yang memadai dalam melindungi anak-anak secara online.

Sebagai bagian dari upaya perlindungan anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini sedang merencanakan memberlakukan batasan usia untuk akses media sosial. Menteri Komunikasi dan Informatika, Meutya Hafid, telah menandatangani dekrit untuk membentuk tim khusus yang bertugas meninjau pembatasan tersebut, bersama dengan regulasi lain yang bertujuan melindungi anak di ruang digital.

Hafid menekankan pentingnya mempercepat formulasi peraturan untuk melindungi anak-anak dari ancaman potensial di ruang digital. Dia juga menyoroti bahwa pemerintah Indonesia memprioritaskan perlindungan anak di ranah digital untuk mengurangi risiko yang dihadapi anak-anak dalam lanskap online yang terus berkembang.

Dengan penanganan yang komprehensif dan kolaboratif, diharapkan kasus eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikurangi atau bahkan dieliminasi.

Tinggalkan komentar