Parlemen Israel telah menyetujui pembacaan pertama sebuah rancangan undang-undang yang mengusulkan hukuman mati bagi individu yang dianggap sebagai teroris yang bertindak melawan negara—sebuah ketentuan yang membuatnya kemungkinan besar hanya akan diterapkan terhadap warga Palestina yang dihukum karena melakukan serangan mematikan terhadap warga Israel.
RUU yang dikutuk oleh Otoritas Palestina dan kelompok HAM ini didukung di Knesset 120 kursi dengan 39 suara berbanding 16. Menteri Keamanan Nasional sayap kanan jauh, Itamar Ben-Gvir—yang partainya, Kekuatan Yahudi, membawa RUU ini ke pemungutan suara—merayakannya dengan membagikan permen. “Setelah undang-undang ini akhirnya disahkan, teroris hanya akan dilepaskan ke neraka,” ujarnya. RUU ini harus melalui dua kali pembacaan lagi sebelum resmi menjadi undang-undang.
Dalam sesi yang sama, Knesset juga menyetujui pembacaan pertama RUU kontroversial lainnya yang mengizinkan pemerintah Israel untuk menutup outlet media asing tanpa persetujuan pengadilan. Upaya untuk memformalkan apa yang dikenal sebagai “Undang-Undang Al Jazeera” ini bertujuan mengubah perintah sementara yang sebelumnya digunakan untuk menutup Al Jazeera milik Qatar pada Mei 2024, menjadi hukum permanen.
Meskipun hukuman mati memang telah ada untuk sejumlah kecil kejahatan di Israel, hukuman ini hanya pernah dilaksanakan dua kali sejak 1948. Amandemen terhadap kitab hukum pidana ini, yang ditandatangani oleh Komite Keamanan Nasional Knesset, menyatakan tujuannya adalah untuk “memangkas terorisme sejak dini dan menciptakan efek jera yang kuat.” Klausul tentang niat “merugikan Negara Israel” dalam RUU ini membuatnya kemungkinan besar hanya akan menjatuhkan hukuman mati kepada terpidana Palestina, dan bukan warga Israel Yahudi.
Kementerian Luar Negeri Otoritas Palestina menyebut rancangan undang-undang ini sebagai “bentuk baru eskalasi ekstremisme dan kriminalitas Israel terhadap rakyat Palestina.” Sementara itu, organisasi HAM Palestina menyuarakan kekhawatiran bahwa jika menjadi undang-undang, aturan ini berpotensi diterapkan secara surut, yang berujung pada “eksekusi hukuman mati massal yang dapat menargetkan ratusan tahanan Palestina.”
Dorongan untuk RUU hukuman mati ini telah lama diupayakan Ben-Gvir, namun sebelumnya ditentang oleh para pemimpin politik dan keamanan Israel yang khawatir akan mempersulit upaya pembebasan sandera Israel di Gaza. Kekhawatiran itu kini dianggap tidak relevan pasca kembalinya sandera hidup setelah gencatan senjata. Ben-Gvir sendiri termasuk segelintir menteri yang menolak kesepakatan gencatan senjata yang melibatkan pertukaran sekitar 2.000 tahanan Palestina dengan 20 sandera Israel.