NICE, Prancis (AP) — Delapan belas negara meratifikasi Perjanjian Laut Lepas pada Senin, menjadikan total 49 negara — hanya selisih 11 dari 60 yang dibutuhkan agar perjanjian laut ini mulai berlaku. Lonjakan dukungan ini, terjadi saat Konferensi Kelautan PBB di Nice, Prancis, memberi dorongan kuat bagi potensi perubahan bersejarah dalam tata kelola laut lepas global.
Berikut penjelasan tentang perjanjian ini, mengapa penting, dan langkah selanjutnya.
Apa itu Perjanjian Laut Lepas
Secara resmi dikenal sebagai Perjanjian Keanekaragaman Hayati di Luar Yurisdiksi Nasional, Perjanjian Laut Lepas adalah kesepakatan mengikat hukum pertama yang fokus pada perlindungan keanekaragaman hayati laut di perairan internasional. Perairan ini, yang berada di luar yurisdiksi negara mana pun, mencakup hampir dua pertiga lautan dan separuh permukaan Bumi.
Hingga kini, belum ada kerangka hukum komprehensif untuk menetapkan kawasan lindung laut atau menegakkan konservasi di laut lepas.
Mengapa ini diperlukan
Meski terpencil, laut lepas menghadapi tekanan meningkat dari penangkapan ikan berlebihan, perubahan iklim, dan ancaman penambangan laut dalam. Para pegiat lingkungan memperingatkan bahwa tanpa perlindungan memadai, ekosistem laut di perairan internasional berisiko mengalami kerusakan permanen.
“Selama ini, laut lepas seperti wilayah liar tanpa aturan,” kata Megan Randles, pemimpin politik global untuk lautan di Greenpeace. “Kini kita punya kesempatan untuk menerapkan perlindungan yang tepat.”
Perjanjian ini juga krusial untuk mencapai target global “30×30” — komitmen internasional melindungi 30% daratan dan lautan Bumi pada 2030.
Cara kerja perjanjian
Perjanjian ini menciptakan proses hukum bagi negara-negara untuk menetapkan kawasan lindung laut di laut lepas, termasuk aturan untuk aktivitas merusak seperti penambangan laut dalam dan rekayasa geo. Juga dibentuk kerangka berbagi teknologi, mekanisme pendanaan, dan kolaborasi ilmiah antarnegara.
Yang penting, keputusan di bawah perjanjian akan dibuat secara multilateral melalui konferensi para pihak (COP), bukan oleh negara-negara secara individual.
Apa yang terjadi setelah 60 ratifikasi
Setelah 60 negara meratifikasi, hitungan mundur 120 hari dimulai sebelum perjanjian resmi berlaku. Ini akan membuka peluang menetapkan kawasan lindung di laut lepas dan mengaktifkan mekanisme pengawasan.
Hingga Senin malam, 49 negara dan UE telah meratifikasi, berarti dibutuhkan 11 lagi untuk memicu hitungan mundur tersebut.
Langkah setelah ratifikasi
Konferensi Para Pihak (COP1) pertama harus diadakan dalam satu tahun setelah perjanjian berlaku. Pertemuan itu akan menyusun dasar implementasi, termasuk keputusan tentang tata kelola, pendanaan, dan pembentukan badan kunci untuk menilai proposal perlindungan laut.
Kelompok lingkungan mendorong agar ratifikasi melebihi 60 negara, dan dilakukan cepat — semakin banyak negara meratifikasi, implementasi perjanjian akan semakin kuat dan representatif. Ada juga tenggat: hanya negara yang meratifikasi sebelum COP1 yang bisa memberikan suara pada keputusan krusial tentang operasional perjanjian.
“Mencapai 60 ratifikasi akan jadi pencapaian besar, tapi agar perjanjian seefektif mungkin, kita butuh keterlibatan negara dari seluruh dunia dalam implementasinya,” ujar Rebecca Hubbard, direktur High Seas Alliance. “Jadi langkah berikutnya adalah dari 60 menuju global.”
Lonjakan dukungan pada Senin ini meningkatkan harapan bahwa 2025 bisa menjadi titik balik perlindungan laut lepas.
“Kita di ambang menciptakan sejarah laut lepas,” kata Hubbard.
___
Ikuti Annika Hammerschlag di Instagram @ahammergram
___
The Associated Press mendapat dukungan dari Walton Family Foundation untuk liputan kebijakan air dan lingkungan. AP bertanggung jawab penuh atas semua konten. Untuk liputan lingkungan AP, kunjungi https://apnews.com/hub/climate-and-environment