Tom Bateman
Koresponden Departemen Luar Negeri, New York
EPA
Presiden Prancis memimpin bersama konferensi PBB mengenai Masalah Palestina di New York.
Pengakuan Inggris dan Prancis terhadap negara Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan momen bersejarah dalam konflik Israel-Palestina yang telah berusia seabad.
Akan tetapi, langkah ini juga merupakan sebuah taruhan diplomatik yang menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan besar Eropa percaya bahwa konflik telah mencapai titik yang mengharuskan mereka mengambil tindakan tanpa preseden seperti ini.
Menghadapi malapetaka terkini di Gaza, serta menyampaikan kecaman terhadap kedua belah pihak Israel dan Hamas, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan “hak harus mengalahkan kekuatan”.
Langkahnya, yang dikoordinasikan dengan Inggris dan di bawah sponsor Arab Saudi, dimaksudkan untuk menjaga solusi dua negara tetap bertahan.
Mereka percaya bahwa formula perdamaian yang telah lama dianut secara internasional ini adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang adil dan terbagi bagi kedua masyarakat.
Alternatifnya, seperti disampaikan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam sebuah konferensi PBB di New York, adalah solusi “satu negara”, yang berarti dominasi Israel dan “penaklukan” terhadap rakyat Palestina.
Tidak ada, katanya, yang dapat membenarkan hukuman kolektif, kelaparan, atau segala bentuk pembersihan etnis terhadap mereka.
Israel murka dan mengancam akan membalas.
Mereka memandang konferensi PBB – bersama dengan pengakuan terhadap negara Palestina oleh Inggris, Prancis, Kanada, Australia, dan lainnya – sebagai sebuah penghargaan bagi Hamas setelah serangannya terhadap Israel dan penyanderaan pada 7 Oktober 2023.
Beberapa menteri Israel menginginkan pembalasan berupa pengumuman aneksasi bagian-bagian dari Tepi Barat yang diduduki, sehingga selamanya menutup kemungkinan berdirinya negara Palestina yang viable di wilayah tersebut.
Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang mencakup tokoh-tokoh sayap kanan jauh yang kebijakan terang-terangannya adalah mengusir warga Palestina dan membangun permukiman Yahudi sebagai gantinya, bertekad untuk mengakhiri solusi dua negara.
Administrasi Presiden Donald Trump terus mendukung sekutu Israelnya, menolak langkah negara-negara Eropa, dan menghukum Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas.
Mereka melarangnya menghadiri konferensi di New York dan sebagai gantinya ia berbicara melalui sambungan video.
Konferensi Palestina dan reaksi administrasi Trump menandai perpecahan terdalam antara Washington dan sekutu-sekutu Eropanya mengenai cara menyelesaikan konflik Timur Tengah.
Tetapi, negara-negara Eropa percaya mereka hampir tidak punya pilihan lain mengingat situasi di lapangan.
Israel kini mengerahkan divisi angkatan darat ketiga ke Kota Gaza, dengan puluhan warga Palestina tewas setiap harinya; Hamas masih menahan hampir 50 sandera, banyak di antaranya telah meninggal; sementara Tepi Barat dicengkeram oleh ekspansi permukiman dan kekerasan pemukim Israel.
Semua ini terjadi hampir dua tahun setelah serangan 7 Oktober, dengan sedikit tanda bahwa tekanan militer lebih lanjut akan memaksa penyerahan diri Hamas yang diinginkan Israel.
Strategi Macron merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa diplomasi menawarkan alternatif yang viable.
Pertama, untuk mengakhiri perang di Gaza dengan cara yang dapat dijalankan, dilanjutkan dengan solusi jangka panjang dalam bentuk dua negara – Israel dan Palestina.
Negara-negara Eropa berargumen bahwa strategi Israel telah gagal, hanya mengakibatkan penderitaan sipil lebih lanjut dan membahayakan sandera yang tersisa.
Yang krusial, konferensi PBB juga dipimpin oleh Arab Saudi dan didukung oleh Liga Arab.
Pihak Prancis berargumen ini menunjukkan bahwa bentuk diplomasinya dapat memberikan pengaruh atas Hamas karena negara-negara Arab kunci dalam konferensi kini telah menyerukan kepada kelompok tersebut untuk melucuti senjata, menyerahkan persenjataannya kepada PA, serta menambahkan bahwa Hamas tidak dapat memiliki peran kepemimpinan masa depan bagi rakyat Palestina.
Macron percaya bahwa proses ini karenanya menciptakan insentif bagi Israel, sementara juga membuka peluang untuk normalisasi hubungan dengan Arab Saudi – sebuah tujuan yang telah lama diinginkan oleh Netanyahu dan Trump.
EPA
Konferensi PBB juga dipimpin oleh Arab Saudi.
Akan tetapi, keputusan untuk mengakui negara Palestina yang bertentangan dengan keinginan Washington pada dasarnya merupakan sebuah taruhan diplomatik yang signifikan.
Melihat Macron di podium depan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Anda menyaksikan seorang presiden yang berusaha mengambil peran kepemimpinan global untuk mencari jalan keluar dari “mimpi buruk” Gaza, seperti disampaikan sekjen PBB, dan menemukan masa depan bersama bagi Israel dan Palestina.
Namun, jika berbicara dalam hal kekuatan mentah, presiden yang memimpin ini bukanlah yang tepat.
Tanpa Amerika Serikat yang memimpin upaya tersebut, tidak ada tekanan berarti yang sama yang hanya dapat diberikan Washington kepada semua pihak.
Dan administrasi Trump terus menolak pendekatan yang diambil negara-negara Eropa.
Trump akan berkunjung ke PBB pada hari Selasa di mana ia akan berbicara dan kemudian dilaporkan bertemu dengan para pemimpin Arab, sepenuhnya terpisah dari kerja sama mereka dengan negara-negara Eropa pada hari Senin.
Kurangnya koordinasi antara negara-negara kunci ini menambah kesan disfungsi, sementara Qatar sebagai mediator sebelumnya antara Israel dan Hamas masih menolak untuk terlibat kembali setelah Israel menyerang para pemimpin Hamas di wilayahnya awal bulan ini.
Baik Macron maupun Starmer menyinggung warisan kolonial negara mereka di Timur Tengah.
Mereka mengingatkan bagaimana, setelah Inggris menarik diri dari Palestina bersejarah pada tahun 1948, komunitas internasional mengakui negara Israel.
Kini, kata mereka, mereka mengakui hak yang sama bagi rakyat Palestina untuk memiliki negara mereka sendiri.
Rakyat Palestina menyambut baik pengakuan dari negara-negara Eropa, namun mereka juga sadar bahwa ini adalah kekuatan super di masa lalu.
Keputusan mereka tidak lagi seberpengaruh dulu.
Keberadaan negara Palestina hanya akan terwujud jika didukung oleh kekuatan super masa kini, yaitu Amerika Serikat.
Dan Presiden Trump sejauh ini memiliki pemikiran lain.