Naim Qassem menyatakan kelompoknya tak akn menyerah atau meletakkan senjata menanggapi ancaman Israel, meski ada tekanan agar mereka melucuti senjata.
Pemimpin Hezbollah itu mengatakan kelompok Lebanon ini tetap terbuka untuk perdamaian, tetapi tidak akan melucuti senjata atau mundur dari konfrontasi dengan Israel hingga serangan udara dihentikan dan mereka menarik diri dari Lebanon selatan.
“Kami tidak bisa diminta untuk melunak atau meletakkan senjata sementara agresi [Israel] masih berlangsung,” kata Naim Qassem kepada ribuan pendukung yang berkumpul di pinggiran selatan Beirut pada Minggu untuk memperingati Asyura, hari penting dalam kalender Muslim Syiah.
Asyura memperingati Pertempuran Karbala tahun 680 M, saat cucu Nabi Muhammad, Imam Hussein, terbunuh setelah menolak berbaiat kepada kekhalifahan Umayyah. Bagi Muslim Syiah, hari ini melambangkan perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan.
Kawasan Beirut, basis kekuatan Hezbollah, dipenuhi spanduk kuning dan gemuruh pekikan perlawanan saat Qassem berpidato, diapit potret pendahulunya, Hassan Nasrallah, yang tewas dalam serangan Israel September lalu.
Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Lebanon pada 8 Oktober 2023—sehari setelah kelompok Palestina Hamas, sekutu Hezbollah, menyerbu wilayah Israel, menewaskan sekitar 1.100 orang dan menawan 250 lainnya.
Serangan Hamas langsung disusul pemboman Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 57.000 warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak-anak. Kampanye genosida ini dibarengi blokade ketat atas bantuan makanan dan medis, menjerumuskan 2,3 juta penduduk Gaza ke ambang kelaparan.
Serangan Israel ke Lebanon bereskalasi jadi perang penuh pada September 2024, menewaskan lebih dari 4.000 orang—termasuk sebagian besar pimpinan Hezbollah—dan mengusir 1,4 juta warga menurut data resmi. Gencatan senjata yang difasilitasi AS secara nominal mengakhiri perang pada November.
Tapi sejak gencatan, Israel masih menguasai lima titik perbatasan strategis di Lebanon selatan dan melakukan serangan udara hampir tiap hari—dengan dalih mencegah Hezbollah membangun kembali kekuatannya. Menurut Kemenkes Lebanon, serangan ini telah menewaskan 250 orang dan melukai 600 lainnya sejak November.
“Bagaimana mungkin kami tidak bersikap teguh sementara musuh Israel terus mengganas, menduduki lima titik, memasuki wilayah kami, dan membunuh?” tegas Qassem dalam pidato videonya.
“Kami tak akan jadi bagian dari upaya melegitimasi pendudukan di Lebanon dan kawasan. Kami menolak normalisasi,” tambahnya, menanggapi pernyataan Menlu Israel Gideon Saar bahwa pemerintahnya “tertarik” pada langkah tersebut.
Qassem menegaskan senjata Hezbollah tak akan jadi bahan negosiasi kecuali Israel “menarik diri dari wilayah pendudukan, menghentikan agresi, membebaskan tahanan, dan rekonstruksi dimulai”.
“Baru setelah itu,” ujarnya, “kami siap masuk tahap kedua: membahas strategi keamanan dan pertahanan nasional.”
Pada Sabtu, drone Israel melancarkan empat serangan ke kota-kota Lebanon selatan, menewaskan satu jiwa dan melukai beberapa orang. Sebagian besar serangan menyasar area perbatasan, tapi jet tempur Israel juga menyerang permukiman di distrik selatan Beirut, memicu kepanikan dan pengungsian massal.
Pidato Qassem disampaikan jelang kedatangan utusan AS untuk Turkiye dan Suriah, Tom Barrack, di Beirut pada Senin. Pejabat Lebanon menyebut AS menuntut Hezbollah melucuti senjata sebelum akhir tahun. Israel memperingatkan bakal terus menyerang Lebanon sampai kelompok itu dilucuti.
Tapi Presiden Lebanon Joseph Aoun berulang kali mendesak AS dan sekutunya mengendalikan serangan Israel, menegaskan pelucutan Hezbollah adalah “isu sensitif dan rumit”.