Getty Images
Pemerintah India menyatakan bahwa pencampuran etanol telah mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 69,8 juta ton semenjak tahun 2014.
Upaya India untuk meningkatkan pencampuran biofuel dengan bensin telah membantu negara tersebut memangkas jutaan ton emisi karbon dioksida dan menghemat cadangan devisa yang berharga.
Namun, hal ini juga memicu kekhawatiran di kalangan pemilik kendaraan dan pakar kebijakan pangan mengenai dampak potensialnya terhadap efisiensi bahan bakar dan ketahanan pangan.
Bulan lalu, India berhasil mencapai target pencampuran 20% etanol dengan bensin, yang dikenal sebagai E20, lima tahun lebih cepat dari jadwal.
Pemerintah memandang ini sebagai perubahan besar dalam mengurangi emisi karbon dan memangkas impor minyak. Sejak 2014, pencampuran etanol telah membantu India mengurangi 69,8 juta ton emisi karbon dioksida dan menghemat 1,36 triliun rupee dalam devisa.
Sebuah studi oleh think tank Council on Energy, Environment and Water (CEEW) menunjukkan bahwa emisi karbon dioksida dari transportasi darat di India akan hampir dua kali lipat pada 2050.
“Permintaan akan bahan bakar hanya akan meningkat dan beralih ke bensin yang dicampur etanol mutlak diperlukan untuk mengurangi emisi,” kata Sandeep Theng dari Indian Federation of Green Energy kepada BBC.
Tetapi, banyak kendaraan di India tidak sesuai dengan standar E20, membuat pemiliknya skeptis terhadap manfaat kebijakan ini.
Hormazd Sorabjee, editor majalah Autocar India, mengatakan bahwa etanol memiliki “kepadatan energi yang lebih rendah daripada bensin dan lebih korosif”. Hal ini mengakibatkan jarak tempuh yang lebih pendek dan memperbesar risiko keausan pada bagian-bagian kendaraan tertentu.
Mr. Sorabjee menambahkan bahwa beberapa pabrikan seperti Honda telah menggunakan material yang sesuai E20 sejak 2009, tetapi banyak kendaraan lama di jalanan India yang tidak kompatibel.
Sementara tidak ada data resmi tentang dampak bahan bakar E20 pada mesin, konsumen kerap membagikan pengalaman mengenai penurunan jarak tempuh kendaraan mereka di media sosial.
Banyak polis asuransi standar di India juga tidak memberikan perlindungan untuk kerusakan akibat penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai, ungkap seorang eksekutif tinggi di platform asuransi online Policybazaar yang ingin tetap anonim, kepada BBC.
“Konsumen perlu mengambil polis tambahan tetapi bahkan klaim tersebut dapat ditolak atau didowngrade berdasarkan ketentuan kecil dalam polis,” tambahnya.
Kementerian Perminyakan federal menyebut kekhawatiran-kekhawatiran ini sebagai “sebagian besar tidak berdasar”.
Dalam sebuah unggahan di X, kementerian tersebut menyatakan bahwa penyetelan mesin dan material yang kompatibel E20 dapat meminimalkan penurunan jarak tempuh. Mereka juga menyarankan penggantian bagian tertentu pada kendaraan lama, dengan menyebut prosesnya tidak mahal dan “mudah dilakukan selama servis berkala kendaraan”.
Getty Images
Ekspansi penggunaan etanol dapat berarti mengalihkan lebih banyak hasil pertanian untuk memproduksi bahan bakar.
Mr. Sorabjee memberitahu BBC bahwa meskipun kekhawatiran tentang jarak tempuh itu nyata, hal tersebut “tidak selalu seburuk yang digambarkan”.
Kekhawatiran yang lebih besar, katanya, adalah potensi kerusakan pada material kendaraan akibat sifat korosif E20.
Beberapa pabrikan kendaraan menawarkan solusi untuk memitigasinya.
Maruti Suzuki, pembuat mobil terbesar di India, dilaporkan akan memperkenalkan kit material E20 yang bisa berharga hingga 6.000 rupee. Kit tersebut akan mengganti komponen seperti saluran bahan bakar, seal, dan gasket. Bajaj, produsen sepeda motor terkemuka, menyarankan penggunaan pembersih bahan bakar yang harganya sekitar 100 rupee untuk satu tangki penuh bensin.
Tetapi, tidak semua pemilik kendaraan yakin. Amit Pandhi, pemilik mobil Maruti Suzuki di Delhi sejak 2017, kecewa karena pom bensin tidak menawarkan pilihan selain E20.
“Mengapa saya dipaksa membeli bensin yang jarak tempuhnya lebih pendek lalu mengeluarkan biaya lebih untuk membuat materialnya compliant?” tanyanya.
Pada 2021, sebuah dokumen tentang transisi India ke E20 yang diterbitkan oleh Niti Aayog, lembaga pemikir pemerintah, telah menyoroti beberapa kekhawatiran ini. Dokumen tersebut merekomendasikan manfaat pajak untuk membeli kendaraan yang sesuai E20, serta harga eceran bahan bakar yang lebih rendah.
Pemerintah membela keputusannya untuk tidak menerapkan rekomendasi tersebut, dengan alasan bahwa pada saat laporan dirilis, etanol lebih murah daripada bensin.
“Seiring waktu, harga pengadaan etanol meningkat dan sekarang harga rata-rata tertimbang etanol lebih tinggi daripada biaya bensin olahan,” kata kementerian perminyakan awal bulan ini.
Getty Images
India berencana untuk meningkatkan pencampuran etanol dalam bensin di tahun-tahun mendatang.
Bukan hanya konsumen – dorongan pemerintah untuk bahan bakar campuran ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan peneliti iklim dan pakar kebijakan pangan.
Etanol diproduksi dari tanaman seperti tebu dan jagung, dan memperluas penggunaannya berarti mengalihkan hasil pertanian untuk memproduksi lebih banyak bahan bakar.
Menurut perkiraan pemerintah, pada 2025 India akan membutuhkan 10 miliar liter etanol untuk memenuhi kebutuhan E20. Permintaan akan membengkak menjadi 20 miliar liter pada 2050, menurut think tank Center for Study of Science, Technology and Policy (CSTEP) yang berbasis di Bengaluru.
Saat ini, tebu digunakan untuk memproduksi sekitar 40% etanol India.
Ini membuat India berada dalam situasi sulit. Harus memilih antara terus mengandalkan tebu – yang memiliki hasil etanol lebih tinggi tetapi intensif air – atau menggunakan tanaman pangan seperti jagung dan beras untuk memproduksi bahan bakar.
Namun, peralihan ini membawa tantangannya sendiri.
Pada 2024, untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, India menjadi importir bersih jagung, dengan menggunakan sejumlah besar tanaman tersebut untuk membuat etanol.
Ramya Natarajan, ilmuwan peneliti di CSTEP, mengatakan pengalihan hasil panen ini berdampak signifikan pada sektor unggas, yang kini harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk membeli jagung sebagai pakan.
Selain itu, tahun ini, Food Corporation of India (FCI) menyetujui alokasi beras yang tidak pernah terjadi sebelumnya sebanyak 5,2 juta ton untuk produksi etanol. Beras dalam stok FCI dimaksudkan untuk diberikan kepada masyarakat miskin India dengan harga bersubsidi.
Kebijakan ini dapat mengakibatkan “bencana pertanian dalam beberapa tahun mendatang”, ujar Devinder Sharma, ahli di sektor pertanian.
“Di negara seperti India, di mana 250 juta orang kelaparan, kita tidak bisa menggunakan pangan untuk ‘memberi makan’ mobil,” kata Mr. Sharma.
Untuk memenuhi permintaan etanol melalui jagung dan tebu dengan rasio 50-50 – seperti yang digariskan oleh Niti Aayog – India harus menambah delapan juta hektar lahan untuk budidaya jagung pada 2030, kecuali ada peningkatan hasil panen yang drastis, menurut CSTEP.
Tetapi bahkan hal itu dapat menimbulkan masalah.
“Jika petani mengganti penanaman padi atau gandum dengan jagung, itu akan berkelanjutan karena kita memiliki surplus yang cukup dari tanaman tersebut. Tetapi kita juga membutuhkan tanaman lain seperti minyak biji dan kacang-kacangan,” kata Ms. Natarajan.
Ms. Natarajan menambahkan bahwa melanjutkan dengan campuran E10 – bensin yang dicampur dengan 10% etanol – akan menjadi pilihan yang lebih ideal.
Namun, India berencana untuk melampaui E20.
“Negara ini sekarang akan secara bertahap menuju E25, E27, dan E30 dengan cara yang terfase dan terukur,” kata Menteri Perminyakan Hardeep Puri baru-baru ini.
Ikuti BBC News India di Instagram, YouTube, X dan Facebook.