Buat lulusan baru universitas yang menghadapi pasar kerja sulit, mungkin mereka bertanya-tanya seberapa berguna gelar mereka. Tapi bagi yang ingin sukses di dunia bisnis Amerika, jalan menuju kesuksesan tidak selalu lewat sekolah bisnis. Banyak CEO top justru belajar bidang yang tidak berhubungan dengan industri mereka.
Kalau kamu baru dapat gelar dalam studi abad pertengahan, selamat ya. Tapi jika tidak mau lanjut ke S2 di bidang itu, mungkin kamu bingung seberapa berguna gelarmu di pasar kerja sekarang.
Penyesalan setelah lulus kuliah bukan hal baru. Tapi lulusan sekarang menghadapi ekonomi yang melambat, ketidakpastian karena tarif Presiden Trump, dan AI menghilangkan banyak pekerjaan entry-level.
Dari penelitian tentang pemimpin Fortune 500, banyak banget CEO punya gelar sarjana bisnis atau MBA. Boss tech sering punya gelar teknik, bos keuangan punya gelar ekonomi/akuntansi, dan CEO farmasi punya gelar kedokteran.
Tapi masih ada harapan. Banyak CEO sukses belajar bidang yang jauh dari industri mereka. Contohnya LinkedIn cofounder Reid Hoffman, yang punya gelar sarjana “sistem simbolik” dari Stanford—campuran komputer, linguistik, matematika, dll. Dia juga punya gelar master filsafat dari Oxford.
Di tahun 2017, dia bilang ke Business Insider bahwa “filsafat mengajarkan cara berpikir jernih,” dan itu membantunya dalam bisnis dan investasi.
CEO Palantir Alex Karp juga punya latar belakang filsafat. Dia belajar ngoding sambil kerja. Katanya ke New York Times, tidak punya gelar bisnis malah membantunya sukses.
Di Fortune 500, CEO Airbnb Brian Chesky punya gelar seni. Latar belakang kreatifnya mempengaruhi budaya perusahaan.
Beberapa contoh lain CEO dengan latar belakang pendidikan tidak biasa:
– Juan Andrade (CEO USAA): Sarjana jurnalisme & politik
– Leon Topalian (CEO Nucor): Sarjana teknik kelautan
– Maria Black (CEO ADP): Sarjana ilmu politik
– Laura Alber (CEO Williams-Sonoma): Sarjana psikologi
– Richard Hayne (CEO Urban Outfitters): Sarjana hubungan sosial
Cerita ini pertama muncul di Fortune.com