Saat CEO Berkshire Hathaway, Warren Buffett, bersiap pensiun, CEO Aflac yang sudah lama menjabat, Dan Amos, akan menjadi CEO dengan masa jabatan terpanjang di Fortune 250. Amos telah memimpin Aflac selama 35 tahun dan menghabiskan lebih dari lima dekade di perusahaan yang didirikan keluarganya.
Di era dimana banyak CEO berganti-ganti dengan masa jabatan rata-rata sekitar tujuh tahun di Fortune 500, Amos menonjol bukan hanya karena lamanya, tapi juga karena cara ia mempertahankannya. Di bawah kepemimpinannya, perusahaan asuransi jiwa ini berkembang menjadi bisnis senilai $55,7 miliar dengan pendapatan tahunan hampir $19 miliar. “Aku suka apa yang aku lakukan,” kata Amos ke Fortune. “Kalau enggak suka, enggak bakal bisa bertahan lama.”
Semangat itu ternyata membawa kesuksesan yang langka. Tapi Amos bilang, kenaikannya enggak otomatis meski dia anak pendiri. Putra dari Paul Amos, salah satu dari tiga bersaudara yang mendirikan Aflac tahun 1955, dia gabung tahun 1973 sebagai sales yang dibayar komisi saja, ingin membuktikan diri lewat kerja keras. “Aku memilih dibayar komisi biar orang enggak bilang aku dapat posisi karena keluarga,” akunya. “Tapi pas lihat hasil kerjaku, mereka enggak bisa protes.”
Tahun pertamanya, wilayah penjualannya menghasilkan premi $600.000 per tahun. Dalam 10 tahun, angka itu naik jadi $11 juta. Dia jadi presiden tahun 1983, COO tahun 1987, dan CEO tahun 1990. Tahun-tahun awal itu membentuk filosofi kepemimpinannya: tetapkan tujuan jelas, pantau hasilnya, dan memimpin dengan tanggung jawab.
Sementara pesaingnya berekspansi ke banyak negara, Amos justru memfokuskan Aflac cuma di AS dan Jepang. “Kami temukan bahwa asuransi jiwa di kedua negara ini lebih besar dari seluruh dunia digabung,” katanya. “Jadi buat apa ke tempat lain?”
Fokus itu sukses bikin Aflac jadi terkenal, didukung maskot bebek ikonik dan kinerja stabil. Amos bilang rahasia keberhasilannya juga terletak pada cara dia memimpin di belakang layar. Harinya dimulai jam 7 pagi dengan rapat tim Jepang, istirahat siang buat olahraga, dan sering diakhiri dengan rapat Minggu malam. Dia mengelilingi diri dengan tim eksekutif tepercaya dan menghargai komunikasi langsung.
Dulu, Amos mengaku semula suka ngatur semuanya sendiri. Tapi suatu hari, dia sadar, “Kalau aku harus ngurus segalanya, buat apa ada mereka?” Sekarang, filosofinya juga diterapkan di dewan direksi yang sengaja dibuat beragam biar lebih mewakili pelanggan. “Aku enggak mau isinya cuma orang kulit putih umur 60 tahun. Aku perlu paham cara berpikir perempuan Afrika-Amerika umur 30-an karena mereka calon nasabah,” jelasnya.
Prinsip utamanya sederhana: beradaptasi atau ketinggalan. “Teknologi dan kerja remote malah memperkuat itu. Sekarang orang bisa kerja dari mana aja dan tetap dipercaya,” tambahnya. Meski belum ada rencana pensiun, Amos jujur soal beban jadi pemimpin. “Orang enggak sadar bahwa kamu enggak pernah benar-benar libur. Di puncak Everest pun masih bisa dihubungi,” katanya.
Tapi Amos tetap belajar menetapkan batasan. Dia tidak pernah melewatkan pertandingan sepak bola anaknya dan mendorong karyawan utamakan keluarga. “Yang penting seimbang. Kalau tim solid, semuanya bakal beres,” ujarnya. Setelah 30 tahun lebih memimpin, nasihatnya untuk calon CEO sederhana: “Lakukan saja!” Tapi dia ingatkan bahwa pemimpin hebat bukan dinilai dari kerja keras harian, tapi bagaimana mereka menghadapi krisis.