Pemerintah Amerika Serikat sedang melakukan taruhan besar sebesar satu miliar dollar bahwa AI bisa melakukan sesuatu yang selama puluhan tahun program "moonshot" gagal lakukan: membuat kanker lebih bisa dikelola dan lebih bisa bertahan hidup.
Dalam kemitraan baru dengan perusahaan Advanced Micro Devices (AMD), Departemen Energi Amerika akan membangun dua superkomputer AI tercanggih di dunia—bernama Lux dan Discovery. Menurut laporan Reuters, komputer ini akan mempercepat penelitian di bidang energi fusi, pertahanan nasional, dan pengobatan kanker.
Menteri Energi Chris Wright mengatakan kepada Reuters bahwa mesin ini, dalam "lima sampai delapan tahun ke depan," bisa membantu mengubah "sebagian besar kanker, yang saat ini seperti vonis mati, menjadi kondisi yang bisa dikelola."
Bagi ilmuwan seperti Trey Ideker, yang memimpin program onkologi presisi di ARPA-H, klaim ini sangat menarik tapi belum lengkap.
"Dapatkah AI dan data besar membuat kemajuan besar dalam memerangi kanker dalam delapan tahun ke depan? Pasti," katanya kepada Fortune. "Tapi apakah AI sendiri akan menyelesaikan masalah kanker? Tidak."
Hambatan sebenarnya: Data, bukan komputasi
Sehebat apa pun Lux dan Discovery, mereka tidak bisa belajar tanpa bahan bakar. Ideker berpendapat tantangan terbesar di bidang ini adalah menggabungkan data multimodal—dari urutan genetik sampai scan jaringan dan pencitraan tubuh—yang dibutuhkan untuk memprediksi bagaimana respons pasien terhadap pengobatan.
Dia membandingkan kekurangan data kanker dengan domain AI lainnya. Model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT punya internet; mobil self-driving seperti Waymo punya jutaan jam yang terekam di jalan. Sebaliknya, kanker hanya memiliki data sebanyak yang rumah sakit mampu dan mau bagikan.
"Ruang untuk kanker lebih terbatas datanya," kata Ideker. "Kita harus berinvestasi sama besarnya dalam menangkap dan menghubungkan data itu seperti yang kita lakukan untuk komputasi."
Dia percaya perangkat keras Departemen Energi harus terhubung langsung ke program pemerintah yang sedang berjalan, seperti inisiatif ADAPT dari ARPA-H, yang mengumpulkan data pasien untuk melatih model memprediksi respons obat.
"Menghubungkan AI dan data bersama-sama," katanya, "adalah hal yang akan membuat ini berhasil."
Metafora favorit Ideker untuk masa depan AI dalam dunia medis bukanlah robot surgeon yang mandiri; melainkan, dia melihat AI sebagai kursi baru di ruang rapat.
"Ketika pasien berhenti merespons pengobatan lini pertama, kasus mereka dibawa ke rapat-rapat ini," jelasnya. "Sepuluh atau dua belas Jedi—dokter dan profesor—duduk berkeliling di ruang rapat seperti di acara House M.D. dan berdebat apa yang harus dicoba selanjutnya."
Terkadang keputusannya sembarangan, katanya: Seseorang ingat sebuah studi dari minggu lalu dan mengusulkan untuk mencoba obat dari studi itu. Dia membayangkan AI sebagai "asisten yang pendiam di sudut ruangan" yang telah membaca semua literatur dan tahu setiap hasil uji coba.
"AI tidak akan yang menekan pelatuk untuk memutuskan pengobatan," tegasnya. "Ia hanya akan memberikan pendapat, dan para dokter harus menghargai bahwa seringkali dialah satu-satunya di ruangan itu yang telah membaca segalanya."
Di Pusat Kanker Moores UCSD, tim Ideker sudah menjalankan uji klinis berdasarkan model itu. Dia memperkirakan para ahli onkologi akan menyambut bantuan ini, terutama untuk kasus-kasus yang sulit.
"AI tidak akan datang seperti pahlawan yang menunggang kuda putih," katanya. "Ia sudah mengalir masuk dengan keceptan yang sedang."
2033: Masa depan yang masuk akal
Pada awal tahun 2030-an, Ideker berpikir hampir setiap pasien bisa menerima terapi terbaik yang ada untuk tumor spesifik mereka, sebuah realisasi sejati dari obat presisi, di mana dia berspesialisasi. Namun, merancang obat baru secara real-time untuk kanker yang kebal akan membutuhkan waktu lebih lama.
Untuk saat ini, dia lebih ingin melihat pembuat kebijakan fokus untuk menyambungkan kekuatan komputasi baru ini ke sistem data rumah sakit yang nyata.
"Jika ada satu hal—secara egois—yang akan sangat menguntungkan sains," ujarnya, "itu adalah menghubungkan upaya AI ini dengan tempat-tempat yang menghasilkan data yang mereka butuhkan."
Mengenai pernyataan Wright tentang "awal dari akhir" kanker sebagai vonis mati, Ideker menyebutnya "menginspirasi, tetapi perlu dijelaskan lebih lanjut."
"Saya pikir kita akan menyelesaikan bagian pertama—yaitu mencocokkan setiap pasien dengan pengobatan terbaik yang ada—pada tahun 2030," kata Ideker. "Tapi apa yang terjadi jika tidak ada pengobatan yang cocok untuk tumormu? Saat itulah kita akan membutuhkan cara untuk merancang obat secara real-time untuk setiap pasien. Saya yakin itu belum akan terselesaikan pada tahun 2030, tapi orang-orang harus sudah memikirkannya dari sekarang."