Rabu, 9 April 2025 – 11:22 WIB
Jakarta, VIVA – Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan menaikkan tarif impor terhadap semua produk asal China hingga mencapai 104 persen, dan mulai berlaku pada Rabu, 9 April 2025.
Baca Juga :
Tarif 104 Persen untuk China, Gedung Putih: Karena Mereka Membalas
Kabar ini disampaikan langsung oleh Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, dalam pernyataan pers yang langsung mengguncang pasar global. Demikian seperti dikutip dari CNN, Rabu.
Mulanya, China sudah bersiap menghadapi tambahan tarif sebesar 34 persen sebagai bagian dari paket kebijakan tarif resiprokal yang dirancang Trump. Namun, setelah Beijing bersikukuh untuk tetap mengenakan tarif balasan sebesar 34 persen terhadap barang-barang asal Amerika Serikat, Trump memutuskan untuk menambahkan 50 persen lagi sebagai hukuman, sehingga totalnya menjadi kenaikan 84 persen dari sebelumnya.
Baca Juga :
Rupiah Semakin Anjlok Rp 16.958 per Dolar AS, Imbas Perang Dagang Trump
Pemerintah China dengan cepat menyatakan penolakannya terhadap langkah AS ini. Melalui Kementerian Perdagangan, Beijing menyebut bahwa tindakan Trump sebagai kesalahan yang bertumpuk-tumpuk, dan menyatakan akan meningkatkan pembalasan terhadap ekspor asal Amerika.
Situasi ini membuat pasar saham AS berbalik arah. Dow Jones ditutup turun 320 poin atau 0,84 persen. Indeks S&P 500 merosot 1,57 persen, sementara Nasdaq yang didominasi saham teknologi anjlok 2,15 persen.
Baca Juga :
Ngeri, Trump Tambahkan Tarif China hingga 104 Persen
Presiden Donald Trump mengumumkan tarif masuk barang impor ke AS.
Dampak dari kebijakan ini juga terasa hingga Asia. Pasar saham Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, hingga Australia ikut terpukul. Nikkei 225 dibuka turun sekitar 3 persen, Hang Seng juga merosot 3 persen, sementara KOSPI Korea dan ASX 200 Australia masing-masing turun sekitar 1 persen.
Langkah ini merupakan kelanjutan dari kebijakan tarif sebelumnya yang dimulai sejak Februari lalu. Saat itu, Trump mengenakan tarif 10 persen tanpa pengecualian terhadap seluruh produk dari China. Dia mengaitkan kebijakan ini dengan dugaan keterlibatan China dalam membantu imigrasi ilegal dan penyelundupan fentanyl ke AS.
Sebagai informasi, tahun lalu China merupakan sumber impor terbesar kedua bagi AS, dengan nilai ekspor ke AS mencapai 439 miliar dolar. Sementara AS hanya mengekspor barang senilai 144 miliar dolar ke China. Kebijakan tarif saling balas ini diprediksi akan memukul industri dalam negeri masing-masing dan menyebabkan gelombang PHK.
Selain China, puluhan negara lain termasuk Uni Eropa dan Indonesia juga menghadapi tenggat waktu tarif baru dari Trump. Besarannya berkisar antara 11 hingga 50 persen.
Leavitt mengungkapkan, bahwa meskipun sudah ada pembicaraan dengan sejumlah pemimpin dunia, Trump tidak berniat menunda kebijakan tersebut. Dia mengungkapkan bahwa Trump telah memberi instruksi kepada tim perdagangan AS untuk menyusun kesepakatan yang disesuaikan bagi negara-negara yang ingin bernegosiasi.
Halaman Selanjutnya
Langkah ini merupakan kelanjutan dari kebijakan tarif sebelumnya yang dimulai sejak Februari lalu. Saat itu, Trump mengenakan tarif 10 persen tanpa pengecualian terhadap seluruh produk dari China. Dia mengaitkan kebijakan ini dengan dugaan keterlibatan China dalam membantu imigrasi ilegal dan penyelundupan fentanyl ke AS.