Polisi Buru Dua Warga Asing Pelaku Pemerasan Lewat Aplikasi Pinjaman Ilegal

Jakarta (ANTARA) – Direktorat Tindak Pidana Siber Polri sedang memburu dua orang warga negara asing (WNA) dalam kasus dugaan ancaman, pemerasan, dan penyebaran data pribadi melalui platform pinjaman online (pinjol) ilegal yang bernama "Dompet Selebriti" dan "Pinjaman Lancar".

Wakil Direktur Tindak Pidana Siber, Komisaris Besar Andri Sudarmadi, dalam konferensi pers pada hari Kamis, menyatakan kedua WNA tersebut terlibat dalam klaster pengembang aplikasi.

"WNA yang sedang dalam penelusuran saat ini adalah LZ, dengan keterlibatan di Pinjaman Lancar," ujarnya.

Sementara itu, tersangka lain yang diidentifikasi sebagai S, berasal dari platform pinjol Dompet Selebriti. Keduanya merupakan warga negara China dan saat ini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Sudarmadi menyebutkan keduanya diduga terkoneksi dengan PT Odeo Teknologi Indonesia, sebuah payment gateway.

Dalam kasus ini, Direktorat Tindak Pidana Siber telah menetapkan tujuh tersangka, yang dibagi menjadi dua klaster:

  1. Klaster Desk Collection (DC): Tersangka NEL atau JO sebagai DC "Pinjaman Lancar", SB sebagai Kepala DC "Pinjaman Lancar", RP sebagai DC "Dompet Selebriti", dan STK sebagai Kepala DC "Dompet Selebriti".
    Barang bukti yang disita dari keempat tersangka antara lain 11 ponsel, 46 kartu SIM, satu kartu SD, tiga laptop, dan satu akun mobile banking.

  2. Klaster Payment Gateway: Tersangka IJ sebagai Finance Officer di PT Odeo Teknologi Indonesia, tersangka AB sebagai Operations Manager di PT Odeo Teknologi Indonesia, dan tersangka ADS sebagai Customer Service di PT Odeo Teknologi Indonesia.
    Barang bukti yang disita dari ketiga tersangka mencakup 32 ponsel, 12 kartu SIM, sembilan laptop, satu monitor, tiga mesin EDC, sembilan kartu ATM, tiga KTP, 11 buku tabungan, lima token internet banking, CV, surat lamaran kerja, perjanjian kerjasama dari PT Odeo, dan dokumen lainnya.

    Sudarmadi mengatakan kasus ini terungkap setelah adanya laporan dari seorang korban yang diidentifikasi sebagai HFS. Pada Agustus 2021, HFS mengajukan pinjaman melalui sebuah aplikasi dengan mengirimkan foto KTP dan foto selfie.

    Korban telah melakukan pembayaran pinjaman. Namun, pada November 2022, HFS menerima ancaman untuk membayar pinjaman tersebut via SMS, WhatsApp, dan media sosial. Akibat ancaman ini, HFS berulang kali melakukan pembayaran pinjaman. Teror tersebut kembali terjadi dan memuncak pada Juni 2023.

    "Total kerugian yang dialami korban kami yang telah melunasi pinjamannya namun tetap dipaksa bayar, mencapai sekitar Rp1,4 miliar," kata polisi.

MEMBACA  Partai Perindo Desak Penyidikan Tuntas dan Penjatuhan Sanksi Tegas bagi Pelaku Pencampuran Beras