Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, menekankan bahwa hak-hak anak untuk hidup dan perkembangan harus tetap menjadi prioritas selama bencana. Puspitarini menyatakan bahwa anak-anak berisiko tinggi menjadi korban karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam merespons bencana.
Dia mengatakan bahwa kerentanan anak selama fase tanggap darurat dan evakuasi termasuk akses terbatas terhadap kesehatan dan pendidikan serta rentan menjadi korban kekerasan fisik, pelecehan seksual dan kejahatan, pernikahan anak, dan perdagangan anak. Faktor-faktor yang menyebabkan kerentanan pada anak adalah kesenjangan dalam anak, keluarga, dan pihak yang melaksanakan tanggap darurat serta pengetahuan dan keterampilan yang terbatas dari masyarakat, termasuk anak-anak, dalam merespons bencana.
Selain itu, beberapa faktor lain yang menyebabkan kerentanan pada anak juga termasuk kurangnya pemberian dukungan dan layanan dalam tanggap darurat, kurangnya ruang ramah anak di tempat evakuasi, staf psikososial yang terbatas, dan toilet yang tidak memadai dan tidak terpisah. Puspitarini merujuk pada Tsunami Aceh yang menghancurkan pada tahun 2004, yang mengakibatkan 2.800 anak terpisah dari keluarga mereka, merusak 1.488 sekolah, mengganggu pendidikan 150 ribu siswa, dan menyebabkan 37 anak menjadi korban perdagangan.
Sementara itu, pasca-tsunami Palu tahun 2018 menyaksikan 20 kasus pelecehan anak dan pelecehan seksual di fasilitas evakuasi, bersamaan dengan 33 kasus pernikahan di bawah umur yang terdokumentasi. Dia mengungkapkan bahwa catatan KPAI dari tahun 2023 mendokumentasikan 70 kasus yang dilaporkan melibatkan anak-anak yang terkena dampak bencana.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 45 juta anak tinggal di daerah rawan gempa bumi, sementara 1,5 juta anak tinggal di daerah rawan tsunami. “Ada 400 ribu anak yang tinggal di daerah berisiko letusan gunung,” tambahnya.
Selain itu, 21 juta anak tinggal di daerah rawan banjir dan 14 ribu anak tinggal di daerah rawan longsor.