Kamis, 25 September 2025 – 14:50 WIB
Jakarta, VIVA – Suara sirene kendaraan sekarang jadi bahan perdebatan publik. Bunyi “tot tot wuk wuk” yang sering kedengeran di jalan dinilai ganggu ketenangan dan bikin stres pengguna jalan lain.
Banyak warganet yang ngungkapin kesel di media sosial, sebut sirene sebagai lambang kesombongan di jalan. Polemik ini akhirnya dijawab polisi dengan kebijakan baru, yaitu menghentikan sementara pemakaian sirene dan lampu rotator yang nggak sesuai aturan.
Pengamat politik dan filsafat Rocky Gerung bilang keputusan Kakorlantas Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho itu adalah langkah yang benar.
Menurut dia, kebijakan ini bukan cuma soal teknis lalu lintas, tapi juga simbol kejujuran dan kebijaksanaan dalam menanggapi kegelisahan publik.
“Akhirnya kita nemuin semacam *wisdom*, artinya kejujuran dan kebijaksanaan dari Kakor Lantas. Bagus, dia membekukan apa yang disebut sirene, tetot-tetot segala macam,” kata Rocky seperti dikutip VIVA Otomotif dari Korlantas Polri, Kamis 25 September 2025.
Dia nambahin, kalo diliat dari filsafat, sirene punya arti yang lebih dalam. Dalam mitologi Yunani, sirene dikenal sebagai simbol bujukan, suara yang indah dan memikat. Tapi, Rocky ingetin, arti itu bisa hilang kalo sirene dipakai berlebihan.
“Kalo seluruh kota isinya bujuk rayu, nggak ada lagi artinya bujuk rayu. Itu namanya jadi kebisingan,” katanya.
Rocky nilai langkah polisi ini sebagai bentuk evaluasi diri sebelum tekanan publik makin besar. Dia tekankan, teguran buat pihak yang pakai sirene sembarangan itu penting buat jaga kenyamanan bersama.
“Sebelum dituntut lebih jauh sama publik, polisi evaluasi diri. Hasilnya ya dihentikan. Ditegurlah mereka yang manfaatin fasilitas itu,” tuturnya.
Menurut Rocky, kebisingan di jalan bukan masalah sepele. Suara sirene yang berlebihan tiap hari bisa picu stres dan beban psikologis buat masyarakat.
“Itu nggak cuma bikin berisik, tapi bikin kita stres tiap hari di jalan cuma karena tetot-tetot,” tegasnya.
Lebih lanjut, dia jugaa ingetin bahwa jalan raya pada dasarnya adalah ruang peradaban, bukan cuma tempat lalu lalang. Makanya, kebijakan hentikan sirene yang nggak perlu bisa jadi awal terciptanya harmoni baru di jalan.
“Kalo mau manfaatin jalan raya, lakukan dengan sirene yang benar. Sirene itu bunyi yang ada musimnya, bukan bunyi yang asal bunyi,” kata Rocky.
Dia tutup dengan harapan kebijakan ini bisa mengembalikan arti jalan raya sebagai ruang publik yang sehat.
“Saya setuju kalo tetot-tetot itu dihentikan mulai hari ini. Selanjutnya kita lihat nyanyian masyarakat sipil yang memuji bahwa jalan raya artinya jalan peradaban,” pungkasnya.