Yogyakarta (ANTARA) – Bank Indonesia (BI) yakin bahwa kinerja ekspor Indonesia akan tetap positif meski ada dinamika kebijakan tarif timbal balik dari Amerik Serikat.
Penerapan tarif yang lebih rendah dibandingkan negara lain dinilai mampu menjaga stabilitas eksternal dan meningkatkan kepercayaan investor, yang mendukung investasi yang lebih kuat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Secara umum, karena tarifnya lebih rendah, kepercayaan pasar lebih tinggi. Jadi, kami berharap ekspor akan meningkat di masa depan,” ujar Juli Budi Winantya, Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, dalam sebuah diskusi media di Yogyakarta pada hari Jumat.
Sejak 7 Agustus, AS telah memperluas skema tarif timbal baliknya dari 44 menjadi 70 negara. Beberapa negara, seperti India dan Swiss, sekarang menghadapi tarif lebih tinggi dari yang diumumkan awalanya.
Sebaliknya, tingkat tarif Indonesia telah diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen.
Meski masih ada risiko tambahan tarif pada transhipment, bank sentral meyakini prospek ekspor Indonesia akan tetap positif.
Namun, Winantya mengakui bahwa neraca berjalan masih diperkirakan mencatatkan defisit, tapi pada tingkat rendah yakni sekitar 0,5 hingga 1,3 persen dari PDB — suatu kisaran yang dianggap sehat dan kecil kemungkinannya mengganggu stabilitas eksternal.
“Ekspor dan impor barang dan jasa dalam neraca berjalan masih diperkirakan tetap defisit, tetapi tingkatannya masih dalam level sehat,” jelas Winantya.
Pada kuartal kedua 2025, defisit neraca berjalan berada di angka US$3,0 miliar (0,8 persen PDB), meningkat dari US$0,2 miliar (0,1 persen PDB) pada kuartal pertama.
Selain faktor eksternal, Bank Indonesia juga memproyeksikan bahwa permintaan domestik akan meningkat seiring dengan belanja pemerintah untuk berbagai program yang diharapkan mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua 2025.
Selain belanja reguler, pemerintah juga memberikan tambahan stimulus fiskal yang bertujuan meningkatkan konsumsi dan aktivitas ekonomi domestik.
Di sisi moneter, Bank Indonesia telah menyesuaikan suku bunga acuannya sebanyak lima kali antara September 2024 dan Agustus 2025, masing-masing sebesar 25 basis poin dan meningkatkan likuiditas termasuk melalui Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ini diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi tahun 2025 di atas titik tengah kisaran 4,6 persen hingga 5,4 persen.