Anggota DPR Pertanyakan Penggunaan Istilah ‘Modal Politik’ untuk Ibu Kota Nusantara

Jakarta (ANTARA) – Seorang anggota DPR RI menyinggung soal penggunaan istilah “Ibukota Politik” untuk Nusantara, ibu kota baru di Kalimantan Timur, yang tercantum dalam peraturan presiden terbaru.

Muhammad Khozin, anggota Komisi II DPR, mencatat bahwa publik sudah paham peran Nusantara sebagai pusat pemerintahan, sesuai yang diatur dalam Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2023 tentang Ibu Kota Negaara (UU IKN).

“Sama sekali tidak ada penyebutan frasa ‘Ibukota Politik’,” kata Khozin pada Sabtu.

Ia meminta pemerintah untuk menjelaskan maksud istilah tersebut, yang muncul dalam lampiran Perpres Nomor 79 Tahun 2025 tentang pembaruan Rencana Kerja Pemerintah – sebuah revisi dari peraturan sebelumnya.

“Apakah Ibukota Politik sama dengan Ibukota Negara? Jika ditafsirkan begitu, akan ada konsekuensi politik dan hukum,” ia memperingatkan.

Khozin menekankan bahwa Pasal 39 Ayat (1) UU IKN menetapkan bahwa pemindahan ibu kota negara harus diatur melalui keputusan presiden.

“Dampak politik dan hukum akan muncul begitu Ibu Kota Negara resmi pindah dari Jakarta ke Nusantara,” jelasnya.

Jika “Ibukota Politik” memang dimaksudkan untuk merujuk pada Ibukota Negara, argumen Khozin, maka penunjukan itu harus diakui secara formal oleh semua lembaga negara, termasuk lembaga non-negara dan organisasi internasional yang beroperasi di Indonesia.

“Jika ‘Ibukota Politik’ dimaksudkan untuk menandakan pusat pemerintahan, pemerintah seharusnya hindari memperkenalkan terminologi baru yang bisa membingungkan publik,” tutupnya.

Berita terkait: Pembangunan Ibu Kota Nusantara berlanjut tapi bukan prioritas: anggota DPR

Berita terkait: Indonesia akan bangun zona legislatif dan yudikatif Nusantara pada Oktober

Penerjemah: Anton Santoso
Editor: Aditya Eko Sigit Wicaksono
Copyright © ANTARA 2025

MEMBACA  Aon Menyesali Membantu PT Timah dan Dituduh Lakukan Korupsi