Ahli IPB Mendesak Pemerintah Untuk Mencabut Peraturan Menteri Lingkungan yang Membuat PNBP Rentan Dijadikan Bancakan

Jakarta, VIVA – Tak memiliki dasar metodologis, hingga menimbulkan malapraktik dan rawan bancakan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), pemerintah diminta untuk mencabut dan membuat aturan baru atas Peraturan Menteri Permen Lingkungan Nomor 7 Tahun 2014. Kajian itu berdasarkan hasil diskusi para pakar yang digelar Pakar IPB University di Bogor, Jawa Barat, Jumat, 13 Desember 2024.

Baca Juga :

Bea Cukai: Operasi Thunder dan Demeter 2024 untuk Lindungi Lingkungan dan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Diskusi bertema \’Menghitung Kerugian Lingkungan dengan Permen LH Nomor 7/2014: Sudah Tepatkah?\’ itu menghadirkan tiga pakar kehutanan lingkungan, ekonomi, dan hukum, antara lain Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB Sudarsono Soedomo, Guru Besar Bidang Ekonomi SDA dan Lingkungan IPB Akhmad Fauzi, dan pakar Hukum Kehutanan Universitas Al-Azhar Sadino.

Mukadimah diskusi dibuka dengan kata pengantar \’Perlindungan Lingkungan Diutamakan, Kemakmuran Rakyat Diabaikan\’. Para pakar menilai Permen tersebut perlu dicabut atau direvisi karena, menurut mereka, dalam perancangan aturan ini, tidak melibatkan para akademisi dalam perhitungan kerugian lingkungan secara metodologis.

Baca Juga :

ARM HA-IPB Gelar Team Building untuk Pengurus Baru Masa Bakti 2024-2029

Ilustrasi tambang emas ilegal.

Efeknya, banyak terjadi double counting, dan terjadi malapraktik dalam menghitung kerugian lingkungan yang perlu segera dikoreksi, hingga kerugian lingkungan yang terjadi di dalam wilayah izin adalah menjadi tanggung jawab negara.

Baca Juga :

Eks Kadis LH Tangerang jadi Tersangka, Pj Walkot: Pendampingan Hukum Kita Minta dari Korpri

Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Naresworo Nugroho, dalam sambutannya menyampaikan, jasa ekosistem dan valuasinya merupakan bidang kajian yang relatif baru, dan menjadi perbincangan di media massa.
Namun ketika menjadi regulasi, itu menjadi suatu hal yang kompleks mencakup berbagai proses, fungsi, dan jasa.  Sehingga valuasi, terutama dalam jasa ekosistem dan kerusakan lingkungan adalah pekerjaan yang agak kompleks karena untuk menghitungnya, selain waktu yang panjang, anggaran memadai, ahli yang sudah mumpuni dengan berbagai bidang ilmu, bukan hanya mono-disiplin, multidisiplin, bahkan trans-disiplin ilmu.

MEMBACA  Prabowo Menolak untuk Membuka Semua Data saat Debat, Nusron: Perlunya Kerahasiaan dalam Pertahanan.

Dalam hal ini perlu berhati-hati dalam menghitung kerugian kerusakan lingkungan dalam proses penegakan hukum, maka perlu meletakkan norma standar prosedur dan kriteria hitungan yang jelas. Bagaimana menghitung yang tepat sementara kerugian lingkungan ketika diputuskan tidak bisa dieksekusi. Sementara entitas bisnis yang terhukum asetnya tidak sebesar kerugian yang ditimbulkan sebagaimana hasil perhitungan Permen LH Nomor 7 Tahun 2014.

Kasus hukum yang disidangkan di pengadilan (foto ilustrasi).

Photo :

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Sudarsono Soedomo menekankan kepedulian terhadap lingkungan tak serta merta mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi. Sejumlah persoalan disebutkannya menjadi latar belakang desakan dicabutnya Permen LH Nomor 7 Tahun 2014. Mulai dari metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena elemen yang terhitung dua kali, bahkan bisa tiga kali hingga penggunaan Permen LH Nomor 7 Tahun 2014 sebagai penghitung kerugian negara dalam kasus hukum. Parahnya lagi, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tak lantas dikembalikan untuk pemulihan lingkungan yang rusak.

“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak. Bayangkan, PNBP, artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka kerusakan negara harus tinggi. Apa begitu? Itu, kan, salah logika,” kata Sudarsono.

“Kerugian lingkungan itu, oke kita hitung, terus kemudian berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi pada lingkungan. Bukan PNPB. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Itu yang tidak terjadi.\”

Celakanya, tutur Sudarsono, ahli yang ditunjuk menghitung kerugian dengan menerapkan Permen LH Nomor 7/2014 di berbagai kasus hukum adalah ahli yang bersaksi. Sehingga kesannya negara secara tidak langsung menjadikan beleid tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP dengan dalih kerusakan lingkungan.

“Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP). Jadi, PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan tapi jadi mobil baru. Yang menikmati bukan rakyat terdampak,” dia menegaskan.

MEMBACA  Profil Sersan Aprilio Manganang, Seorang Anggota TNI yang Pernah Membela Timnas Voli Putri Indonesia

Sebagai akademisi, dia mendorong pemerintahan Prabowo dapat merevisi Permen LH Nomor 7/2014 bahkan mendesak pemerintah segera menyusun peraturan baru guna menggantikan Permen LH Nomor 7/2014 dengan melibatkan akademisi di forum-forum akademik untuk memastikan kebenaran prosedur dan metode penghitungan yang digunakan, sehingga nilai kerugian lingkungan dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat.

Ilustrasi/Aktivitas di tambang emas

“Sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, maka demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan sebaiknya sangat dibatasi atau dihentikan sama sekali,” katanya.

Akhmad Fauzi berpendapat, di Indonesia ganti rugi kerusakan lingkungan menjadi PNBP. Sementara di luar negeri seperti Amerika sebagian besar dikembalikan ke alam, bukan jadi pendapatan negara.

\”Selain itu di Amerika perhitungan kerugian negara juga harus didiskusikan secara panel,” ucapnya.

Sadino memiliki argumen yang sama perihal regulasi Permen LH Nomor 7/2014 sebagai malapraktik. Ia menyampaikan setidaknya sudah ada 42 perusahaan menjadi korban perkara lingkungan menggunakan Permen LH Nomor 7/2014 dengan nilai total kerugian yang dihitung Rp 29 triliun.

“Regulasi Permen Nomor 7 sudah malapraktik. Saya pernah komplain ke Kadin. Ada 42 perusahaan jadi korban perkara lingkungan. Salah satu contohnya PT CA yang dipaksa membayar denda miliaran rupiah, tapi tidak pernah ada pemulihan. Kenapa Permen jadi PNBP? Perhitungan sebenarnya sulit tapi putusannya gampang banget,” kata Sadino.

“Agak mengherankan kalau pengusaha diberi izin tapi lahan tak bisa dieksploitasi. Kalau gitu tutup saja semua. Yang lebih parah setelah pengusaha mengolah dia dipidana. Hitungannya semua parameternya disamakan. Padahal ada hutan konservasi, ada hutan produksi, jadi cara hitungnya tidak sama. Lebih aneh, misal, ada perusahaan yang modalnya hanya puluhan atau ratusan miliar tapi dihukum triliunan. Maka tak heran kalau ada lima prusahaan yang memilih mempailitkan diri,” ujarnya.

MEMBACA  Apa yang diinginkan Israel di Gaza? | Berita Konflik Israel-Palestina

Dia turut mengkritik perihal isu lingkungan disangkutpautkan ke ranah korupsi. Kerugian lingkungan bukan kerugian negara jadi seharusnya dikembalikan ke lingkungan. Sadino mengingatkan dalam beleid perlu ada pemilahan sektor menyangkut lingkungan.

“Karena nafas dalam Permen LH No 7 itu semua dipulihkan menjadi hutan. Padahal lahan itu sudah diproyeksi jadi lahan perkebunan, misalnya. Bagaimana itu dihutankan. Sehingga harus dipilah-pilah. Kalau untuk privat seperti apa hitungannya, terus kalau hutan alam seperti apa, apalagi konservasi seperti apa; kalau masih satu aturannya standarnya masih satu, semua akan rugi,” pesannya.

Sadino melanjutkan, Presiden Prabowo Subianti telah mencanangkan ketahanan pangan dan energi dalam program kerjanya, namun jika penerapan Permen LH Nomor 7 secara serampangan apalagi diseret ke ranah korupsi.

“Jadi, sekarang pelaku usaha akan takut. Pada saat dia membuka lahan, maka mereka akan dianggap merusak lingkungan. Saya pikir orang tidak mau usaha, dengan risiko yang sangat tinggi,” Sadino berpendapat.

“Akhirnya program Pak Prabowo terhadap ketahanan pangan dan energi, kalau tanpa didukung dengan kesediaan lahan yang bisa dikelola dengan baik, ya, mau menanam di mana? Apa yang mau ditanam? Harapan kami direvisi, peraturan menteri ini semua diubah, agar semua harus jelas.”

Masyarakat sempat dihebohkan dengan pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebutkan adanya kerugian lingkungan yang mencapai Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Kejaksaan menggunakan Permen LH Nomor 7/2014 sebagai dasar penghitungan kerugian negara dalam kasus tersebut.

Tinggalkan komentar