Semangat Belajar yang Terinspirasi dari Al-Quran

Ilmu memiliki kedudukan mulia dalam Islam. Bahkan Al Quran banyak mengisahkan tentang pentingnya menuntut ilmu ini dalam ayat-ayatnya. Ilmu juga merupakan kunci kesuksesan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Terkait menuntut ilmu ini, Imam as-Syafii berkata, “Menuntut ilmu lebih utama dari salat sunah.” “Tidak ada amalan setelah amalan fardhu atau amalan wajib, yang lebih utama dari menuntut ilmu.” “Barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia berilmu dan barang siapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia berilmu.”

Di dalam ayat-ayat Al Qur’an, ada beberapa kisah tentang pentingnya menuntut ilmu ini. Kisah perjalanan Nabi Musa Alaihissalam menuntut ilmu ini Allah SWT abadikan dalam Surat al-Kahfi ayat 60 hingga 82. Kisahnya bermula dari pertanyaan yang dilontarkan salah seorang bani Israil kepada beliau. Pertanyaan tersebut berbunyi, “Siapakah orang yang paling berilmu.” Menjawab pertanyaan tersebut, Nabi Musa berkata, “Aku.” Mendengar jawaban Musa, Allah pun langsung menegurnya karena tidak menisbatkan ilmu kepada-Nya. Allah juga memberitahukan bahwa ada orang yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh Musa. Mendengar ada orang yang lebih berilmu darinya, Nabi Musa bergegas membawa perbekalan dan mengambil seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun untuk membersamai perjalanan menuntut ilmu. Selayaknya suatu perjalanan, Nabi Musa pun mengalami kesulitan dalam perjalanan tersebut, sehingga Yusya’ bin Nun mengingatkannya untuk beristirahat. Namun Nabi Musa menolak tawaran tersebut, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran Surat al-Kahfi ayat 60, “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya,‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.” Dari sinilah, kisah perjalanan Nabi Musa untuk menuntut ilmu menegaskan fakta penting, bahwa Nabi Musa ialah potret penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh. Dan kisah tersebut menunjukkan tentang urgensi serta keutamaan ilmu itu sendiri. Syaikh as-Sa’di dalam Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân menyebutkan tiga hikmah terkait kisah di atas, Pertama, Musa adalah seorang nabi dan juga seorang rasul, bahkan termasuk dari rasul ulul azmi. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk berburu ilmu baru. Kedua, Nabi Musa ‘alaihissalam telah menempuh perjalanan dengan jarak yang jauh dan mengalami keletihan dalam mencarinya. Ketiga, Beliau juga memiliki umat yang harus dibimbing dan ditunjukkan ke jalan yang lurus. Sekalipun demikian, beliau tetap meninggalkan pengajaran terhadap umatnya demi mendapat tambahan ilmu.

MEMBACA  Kurangi riset, belanja lebih: Bagaimana Panduan Belanja AI Amazon membantu Anda menemukan yang Anda butuhkan

Kisah keislaman tukang sihir Firaun sebagaimana termaktub dalam Surat Thaha ayat 65 hingga 76, yang mengisahkan pertarungan sihir mereka melawan mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam hingga akhirnya mereka bersujud dan mengikrarkan keislamannya seketika itu juga. Keimanan mereka membuat Firaun murka dan mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara tersilang dan menyalib mereka di pelepah kurma. Tapi, ancaman itu dijawab para ahli sihir dengan tenang dan yakin, sebagaimana firman Allah, al-Quran Surat Thaha ayat 72, “Mereka (para penyihir) berkata,‘Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.’”