Yogita Limaye
Koresponden Asia Selatan dan Afganistan di Myanmar
BBC
Iang Za Kim harus mengungsi dari rumahnya setelah junta melancarkan serangan udara di dekat tempat tinggalnya
Suatu malam di akhir bulan lalu, Iang Za Kim mendengar ledakan di desa tetangga, lalu pesawat tempur terbang melintas di atas. Ia berlari keluar rumah dan melihat asap membubung dari kejauhan.
"Kami sangat ketakutan. Kami pikir pesawat junta akan membom kami juga. Jadi kami mengambil apa yang kami bisa—sedikit makanan dan pakaian—lalu lari ke hutan di sekitar desa kami."
Wajah Iang bergetar saat ia menceritakan kisah yang terjadi pada 26 November di K-Haimual, desanya di Negara Bagian Chin, Myanmar barat, lalu ia menangis tersedu-sedu.
Ia adalah satu dari ribuan warga sipil yang mengungsi dalam beberapa pekan terakhir setelah militer Burma melancarkan kampanye serangan udara yang ganas, serta ofensif darat di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak di seluruh negeri, untuk merebut kembali wilayah menjelang pemilihan umum yang dimulai 28 Desember.
Empat perempuan lain yang duduk mengelilinginya di atas tikar jerami juga mulai menangis. Trauma atas yang mereka alami untuk mencapai tempat aman terlihat jelas.
Meski serangan udara adalah pemicu langsung bagi Iang untuk melarikan diri, ia juga tidak ingin dipaksa untuk berpartisipasi dalam pemilu.
"Jika kami tertangkap dan menolak memilih, mereka akan memenjarakan dan menyiksa kami. Kami lari supaya tidak harus memilih," katanya.
Banyak warga sipil telah menyeberang ke India untuk menghindari kekerasan di Myanmar.
Sebagian dari Negara Bagian Chin menggambarkan ofensif terbaru junta sebagai yang terganas dalam lebih dari tiga tahun.
Banyak dari para pengungsi mencari perlindungan di bagian lain negara bagian tersebut. Iang termasuk dalam kelompok yang menyeberangi perbatasan ke Negara Bagian Mizoram, India. Saat ini mereka berlindung di sebuah lapangan bulutangkis yang rusak di Desa Vaphai. Barang-barang sedikit yang berhasil mereka bawa terkemas dalam karung plastik.
Warga desa India telah memberikan mereka makanan dan kebutuhan pokok.
Ral Uk Thang harus mengungsi dari rumahnya di usia 80 tahun, tinggal di tempat penampungan darurat di hutan selama berhari-hari, sebelum akhirnya tiba di tempat aman.
"Kami takut pada pemerintah kami sendiri. Mereka sangat kejam. Militer mereka pernah datang ke desa kami dan desa-desa lain sebelumnya, mereka menangkap orang, menyiksa, dan membakar rumah," ujarnya.
Tidak mudah berbicara dengan warga sipil Burma secara bebas. Pemerintahan militer Myanmar tidak mengizinkan akses bebas bagi jurnalis asing di negaranya. Mereka merebut kekuasaan melalui kudeta pada Februari 2021, tak lama setelah pemilu terakhir, dan sejak itu dikutuk luas karena menjalankan rezim represif yang menyasar warga sipil secara membabi buta dalam upaya menghancurkan pemberontakan bersenjata di seluruh Myanmar.
Dalam ofensif terbarunya, junta pekan lalu menargetkan sebuah rumah sakit di Negara Bagian Rakhine, tepat di selatan Chin. Kelompok pemberontak di Rakhine menyatakan setidaknya 30 orang tewas dan lebih dari 70 terluka.
Chin Human Rights Organisation menyatakan bahwa sejak pertengahan September, setidaknya tiga sekolah dan enam gereja di Negara Bagian Chin menjadi sasaran serangan udara junta, menewaskan 12 orang termasuk enam anak-anak.
BBC telah verifikasi secara independen pemboman sebuah sekolah di Desa Vanha pada 13 Oktober. Dua siswa—Johan Phun Lian Cung (7 tahun) dan Zing Cer Mawi (12 tahun)—tewas saat mengikuti pelajaran. Bom meledak di ruang kelas mereka dan melukai lebih dari selusin siswa lainnya.
Pemerintah militer Myanmar tidak menanggapi pertanyaan BBC mengenai tuduhan-tuduhan ini.
Ini adalah kali kedua Bawi Nei Lian dan keluarganya yang masih muda—seorang istri dan dua anak kecil—harus mengungsi. Kembali pada 2021, tak lama setelah kudeta, rumah mereka di kota Falam dibakar dalam serangan udara. Mereka membangun kembali hidup di Desa K-Haimual. Kini mereka kehilangan rumah lagi.
"Saya tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjelaskan betapa menyakitkan dan sulitnya, serta betapa berat keputusan untuk pergi itu. Tapi kami harus melakukannya untuk tetap hidup," katanya.
"Saya ingin dunia tahu bahwa klaim militer—bahwa pemilu ini bebas dan adil—sangatlah keliru. Ketika partai politik utama tidak diizinkan ikut pemilu, mana mungkin ada demokrasi sejati?"
Bawi Nei Lian (kiri) mengatakan pemilu yang dijadwalkan adalah palsu
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, yang menang telak dalam dua pemilu sebelum kudeta, tidak akan ikut serta karena sebagian besar pemimpin seniornya, termasuk Suu Kyi, berada di penjara.
"Kami tidak menginginkan pemilu. Karena militer tidak tahu cara memerintah negara kami. Mereka hanya bekerja untuk kepentingan para pemimpin tinggi mereka. Ketika partai Daw Aung San Suu Kyi berkuasa, kami merasakan sedikit demokrasi. Tapi sekarang yang kami lakukan hanyalah menangis dan meratap," kata Ral Uk Thang.
Iang Za Kim percaya pemilu akan dicurangi. "Jika kami memilih partai yang tidak bersekutu dengan militer, saya yakin mereka akan mencuri suara kami dan mengklaim kami memilih mereka."
Pemilu akan dilaksanakan secara bertahap, dengan hasil diperkirakan sekitar akhir Januari. Kelompok pemberontak menyebutnya sebagai pemilu palsu.
Di markas Chin National Front di Myanmar, kelompok pemberontak paling terkemuka yang beroperasi di negara bagian tersebut, Wakil Ketua Sui Khar mengatakan, "Pemilu ini hanya diadakan untuk memperpanjang kediktatoran militer. Ini bukan tentang pilihan rakyat. Dan di Negara Bagian Chin, mereka hampir tidak menguasai banyak wilayah, jadi bagaimana mereka bisa mengadakan pemilu?"
Ia menunjuk area-area di peta di mana pertempuran paling sengit sedang berlangsung dan mengatakan kepada kami hampir 50 pejuang pemberontak terluka hanya dalam sebulan terakhir. Ada juga yang tewas, tetapi sejauh ini kelompok tersebut belum merilis angkanya.
"Ada kolom ratusan prajurit yang mencoba maju ke bagian utara Negara Bagian Chin dari empat arah," kata Sui Khar. "Para prajurit didukung oleh serangan udara, tembakan artileri, dan unit drone."
Abel kehilangan kaki kanannya dan tangannya terluka parah saat bertempur melawan junta
Akses ke markas ini sangat langka. Berada di tengah pegunungan berhutan lebat, tempat ini adalah jantung perlawanan terhadap junta di Negara Bagian Chin.
Sui Khar membawa kami ke rumah sakit di markas tersebut. Kami melihat sekelompok pejuang yang terluka yang dibawa semalam dan harus menjalani operasi berjam-jam. Beberapa di antaranya harus diamputasi.
Banyak dari mereka masih anak sekolah ketika kudeta terjadi pada 2021. Kini, di usia yang hampir dewasa, mereka melepaskan impian mereka untuk bertempur di garis depan melawan junta.
Abel (18 tahun) terlalu kesakitan untuk berbicara. Ia bersama sekelompok pejuang yang berusaha merebut kembali wilayah yang direbut junta seminggu sebelumnya. Mereka memenangkan pertempuran, tetapi Abel kehilangan kaki kanannya dan juga mengalami luka serius di tangannya.
Di tempat tidur sebelahnya ada Si Si Maung (19 tahun), yang juga harus diamputasi kakinya.
"Ketika musuh mundur, kami berlari ke depan dan saya menginjak ranjau darat. Kami terluka dalam ledakan itu. Lalu kami diserang dari udara. Serangan udara sangat mempersulit kami," katanya. "Saya kehilangan satu kaki, tetapi bahkan jika saya harus meregang nyawa, saya rela berkorban agar generasi mendatang memiliki kehidupan yang lebih baik."
Dampak keganasan ofensif terbaru terlihat di setiap ruangan di rumah sakit tersebut.
Namun, dukungan dan keteguhan puluhan ribu pemuda seperti Si Si Maung, yang mengangkat senjata melawan junta, telah membantu para pemberontak membuat kemajuan pesat melawan rival yang jauh lebih kuat dalam empat setengah tahun terakhir.
Beberapa seperti Ral Uk Thang yang berusia 80 tahun berharap setelah pemilu, junta akan mundur, dan ia dapat pulang ke rumah.
"Tapi saya rasa saya tidak akan hidup cukup lama untuk melihat demokrasi dipulihkan di Myanmar," ujarnya. "Saya berharap anak dan cucu saya dapat menyaksikannya suatu hari nanti."
Pelaporan tambahan oleh Aamir Peerzada, Sanjay Ganguly, dan Aakriti Thapar