Kecerdasan buatan (AI) memang berguna untuk banyak hal—utamanya, untuk menyontek dan berpura-pura seolah-olah Anda lebih produktif daripada yang sebenarnya. Belakangan, fenomena ini telah menjalar ke berbagai profesi di mana Anda mungkin mengira etika kerjanya lebih baik daripada kenyataanya.
Contohnya adalah pengacara. Tampaknya para advokat sangat menyukai chatbot seperti ChatGPT karena dapat membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas membosankan seperti menulis dokumen hukum. Sayangnya, sebagaimana kita ketahui, chatbot juga cenderung mengarang-ngarang, dan hal ini semakin sering berujung pada kesalahan hukum dengan implikasi serius bagi semua pihak yang terlibat.
The New York Times baru saja merilis laporan mengenai tren yang memprihatinkan ini, dengan mencatat bahwa hukuman semakin sering dijatuhkan kepada pengacara yang ketahuan menggunakan AI secara ceroboh (hukuman ini dapat berupa denda atau sanksi ringan lainnya). Rupanya, berdasarkan sikap Asosiasi Advokat Amerika, penggunaan AI dalam pekerjaan hukum diperbolehkan. Hanya saja, mereka diharuskan memastikan bahwa teks yang dihasilkan chatbot tersebut akurat dan tidak dipenuhi oleh kasus hukum fiktif—yang tampaknya terus terjadi. The Times menyatakan:
…berdasarkan dokumen pengadilan dan wawancara dengan para pengacara dan ahli, profesi hukum dalam beberapa bulan terakhir semakin menjadi sarang kesalahan AI. Sebagian di antaranya berasal dari penggunaan chatbot sebagai pengganti menyewa pengacara. Meskipun memiliki banyak kelemahan, chatbot dapat membantu orang yang mendampingi dirinya sendiri "berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh hakim," ujar Jesse Schaefer, seorang pengacara dari Carolina Utara…Namun, semakin banyak kasus yang justru berasal dari kalangan profesional hukum sendiri, dan pengadilan mulai menjatuhkan hukuman berupa denda kecil dan disiplin lainnya.
Kini, beberapa pengacara rupanya mulai menegur rekan sejawatnya atas kesalahan tersebut dan berupaya membuat sistem pelacakan yang dapat mengumpulkan informasi mengenai kasus-kasus penyalahgunaan AI. The Times menyoroti karya Damien Charlotin, seorang pengacara asal Prancis yang memulai sebuah basis data daring untuk melacak kesalahan hukum yang melibatkan AI. Melihat-lihat situs web Charlotin, cukup membuat kita bergidik karena saat ini terdapat 11 halaman yang berisi kasus-kasus akibat kekonyolan ini (peneliti menyatakan mereka telah mengidentifikasi 509 kasus sejauh ini).
Koran tersebut juga mencatat adanya "jaringan yang terus bertumbuh dari para pengacara yang melacak penyalahgunaan AI yang dilakukan oleh rekan mereka" dan mempublikasikannya secara daring, dalam upaya untuk mempermalukan perilaku tersebut dan mengingatkan masyarakat bahwa hal ini sedang terjadi. Namun, sejauh ini, belum jelas apakah upaya ini berdampak signifikan. "Kasus-kasus ini merusak reputasi profesi advokat," ujar Stephen Gillers, seorang profesor etika di Sekolah Hukum Universitas New York, kepada surat kabar tersebut. "Semua pengacara semestinya merasa malu dengan apa yang dilakukan oleh anggota profesi mereka."