Gen Z punya nama baru untuk musim gugur, yaitu "The Great Lock-In" yang lagi viral di media sosial. Menurut laporan dari Fast Company dan lainnya, ini adalah waktu untuk beralih dari kesenangan musim panas ke periode yang lebih fokus. Baik itu dalam karir, keuangan, atau membangun personal brand, masa ini tentang mengunci diri untuk mencapai tujuan, seperti dalam game saat kita memilih karakter untuk mengalahkan semua level dan bos.
Tapi tren ini juga tunjukkan tekanan besar yang dirasakan generasi muda di ekonomi yang sulit. Bagi Gen Z, dorongan untuk terus memperbaiki diri didorong oleh ketidakpastian ekonomi dan budaya digital yang menghargai produktivitas. Ini mengingatkan pada "hustle culture" yang dianut generasi sebelumnya, millennials.
Bahkan, ini menandai pergeseran besar dari tren seperti "job hopping" di mana bekerja seadanya adalah biasa. Menurut Resume.AI, profesional Gen Z menulis ulang aturan untuk sukses di pekerjaan. Mereka lebih sengaja dalam menghabiskan waktu, fokus membangun skill, dan jadi lebih tangguh.
Dalam enam bulan terakhir, video TikTok tentang keamanan karir dapat lebih dari 130.000 views, tunjukkan bahwa pekerja muda sedang fokus pada membangun skill dan menonjol di tempat kerja.
Jadi, apakah musim gugur 2025 adalah saat Gen Z menemukan "hustle"? Dan apakah itu hal yang baik?
Tekanan ekonomi dan hambatan struktural
Sejak 2019, inflasi kumulatif mencapai 26%, menghabiskan kemajuan dari job hopping atau promosi. Bagi Gen Z, pencapaian seperti punya rumah atau menikah terasa seperti jurang lebar. Riset Bank of America temukan bahwa Gen Z terkejut dengan tingginya biaya hidup seperti sewa dan listrik. Banyak yang masih tinggal dengan orang tua, mengalami "resesi percintaan", dan jarang keluar. Kondisi ini menciptakan apa yang disebut "gagal meluncur", di mana dewasa muda menunda kemandirian.
Mereka bahkan mengadopsi hobi jadul dan menyebutnya "grannycore". Bahkan di olahraga, tim Oklahoma City Thunder yang muda dan juara NBA bingung dengan sampanye, menunjukkan tren Gen Z yang kurang minum alkohol. Tapi tak bisa dikatakan mereka tidak fokus. Mereka adalah juara.
Hidup adalah permainan yang tidak adil, tapi jangan jadi NPC
Karena realitas ekonomi, Gen Z dikenal progresif dan vokal tentang ketidaksetaraan struktural. Lebih dari setengahnya menyatakan ketimpangan income dan kurangnya kesempatan adalah kekhawatiran utama. Mereka mencari perusahaan yang inklusif dan sesuai nilai sosial mereka.
Tapi mereka juga generasi yang dibesarkan oleh media sosial, dikelilingi influencer dan content creator yang sukses. Mereka tau hidup adalah permainan dan ponsel adalah pengendalinya. Nasib terburuk adalah jadi karakter yang tidak bermain (NPC). Lebih dari setengah generasi ini percaya kerja keras, bukan untung, yang bawa kesuksesan. Paradoks inilah yang mendefinisikan Gen Z.
Siapa pun bisa "terkunci" kapan saja untuk mengejar pencapaian berikutnya. Gen Z gunakan TikTok untuk "looksmax", gunakan AI chatbot untuk optimalkan performa wawancara, dan bangun brand independen di Instagram. Teknologi telah membuka peluang, tapi juga berarti tekanan tanpa henti untuk memperbaiki diri.
Hustle culture sekarang cuma musiman
Tapi, usaha terus-menerus ada dampak buruknya. Hampir setengah Gen Z laporkan masalah kesehatan mental. Di industri yang obses dengan produktivitas, beberapa melakukan "task mask" – terlihat sibuk setiap saat – untuk hindari pemecatan. Para ahli peringatkan ini bisa picu stres dan burnout.
Berbicara soal burnout, itulah hasil akhir untuk generasi sebelumnya yang percaya hustle culture akan berhasil. "Girlboss" digantikan "snail girl" dan etos kerja keras millennials digantikan "soft life" setelah pandemi yang melelahkan.
Kemunculan "hustle season" mungkin adalah jawaban Gen Z untuk kakak mereka. Jawabannya bukan beralih antara bekerja keras dan melarikan diri, tapi menyadari bahwa segala sesuatu ada musimnya. Kadang kamu harus pilih karaktermu dan fokus, tapi permainan akan berakhir dan kamu harus beralih ke gigi lain saat waktunya tiba.