Banjul, Gambia – Pada suatu pagi yang hujan di awal Agustus, seorang bayi perempuan baru lahir yang menderita luka parah pada vaginanya dibawa dengan tergesa-gesa ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Bundung di Banjul. Pada saat ia akhirnya ditangani, para dokter sudah tidak dapat berbuat apa-apa – sang bayi telah meninggal akibat kehabisan darah.
Otoritas Gambia sejak itu mengonfirmasi bahwa bayi berusia satu bulan itu meninggal akibat cedera yang terkait dengan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), sebuah praktik yang telah dilarang di negara kecil Afrika Barat tersebut.
Kasus ini mengguncang komunitas kecil Wellingara, sekitar 17 kilometer dari ibu kota Banjul, yang merupakan asal keluarga bayi tersebut. Setidaknya tiga perempuan dari area itu ditangkap terkait kematian ini, termasuk orang yang memotong anak itu, serta ibu dari bayi tersebut.
“Dia adalah yang tidak beruntung,” kata seorang tetangga, merujuk pada sang bayi, dengan suara yang berat oleh kesedihan. Dia dan ibu korban berada dalam osusu yang sama, sebuah skema tabungan tradisional, dan tetangga itu hadir dalam upacara pemberian nama bayi, yang secara tradisional dilakukan seminggu setelah kelahiran. Itu adalah kali terakhir ia melihat bayi itu, ujarnya.
“Ini bukan yang pertama kalinya,” tambah tetangga itu, yang tidak ingin disebutkan namanya karena kepekaan kasus tersebut. “Bayi-bayi dipotong secara rahasia di sekitar sini, beberapa bahkan masih berusia beberapa hari. Ini memilukan, tetapi terus terjadi karena tidak ada yang berani bersuara.”
FGM, yang melibatkan pengangkatan seluruh atau sebagian labia dan klitoris perempuan, sering kali pada usia muda dan tanpa alasan medis, telah dikriminalisasi di negara itu selama satu dekade, namun tetap menjadi praktik budaya yang umum. Di samping risiko kematian, komplikasi seperti pendarahan, infeksi, nyeri vagina, infertilitas, dan gangguan stres pascatrauma terkait dengan FGM. Lebih dari 144 juta perempuan di seluruh Afrika mengalami FGM, menurut lembaga PBB untuk anak-anak, UNICEF.
Kasus terbaru ini mengungkap bahaya dari ritual tersebut dan tantangan yang dihadapi otoritas dalam memberantas praktik ini, dengan insiden ini menandai sebuah contoh langka dari tindakan hukum di Gambia.
Otoritas kepolisian telah meluncurkan penyelidikan atas kematian anak tersebut. Meskipun ibu bayi telah dibebaskan dengan jaminan, ia dapat menghadapi denda sebagai tersangka kaki tangan di bawah undang-undang anti-FGM Gambia tahun 2015, sementara perempuan yang memotong bayi baru lahir itu dapat menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
Sebuah mural dinding bertuliskan ‘AKHIRI FGM’ di Banjul, Gambia [Kaddy Jawo/Al Jazeera]
FGM menjadi praktek bawah tanah
FGM lazim terjadi di sebagian besar Afrika, tetapi Gambia adalah salah satu negara yang paling terdampak. Setidaknya tiga dari setiap empat perempuan Gambia telah mengalami pemotongan ritual, menurut UNICEF.
Banyak yang secara keliru percaya bahwa praktik ini mencegah kelakuan seksual yang menyimpang pada perempuan, sehingga melindungi keperawanan hingga pernikahan. Beberapa kesalahpahaman juga mencakup bahwa pemotongan meningkatkan kenikmatan seksual laki-laki dan bahwa itu adalah ritual keagamaan.
Pada tahun 2015, Gambia melarang praktik kontroversial tersebut, bertahun-tahun setelah para aktivis mulai menekan Banjul. Mereka yang dihukum karena melakukan pemotongan, menurut undang-undang, dapat menghadapi hukuman penjara tiga tahun atau denda, dan, dalam kasus kematian, hukuman seumur hidup. Namun, banyak yang menentang undang-undang tersebut, termasuk beberapa anggota parlemen dan pemimpin agama di negara dengan mayoritas Muslim ini, yang menyebutnya sebagai penghinaan terhadap hak budaya dan agama.
Pada awal 2024, seorang anggota parlemen mengajukan rancangan undang-undang untuk mencabut hukum anti-FGM. Seruannya menyebabkan kemarahan luas dari aktivis dan kelompok hak asasi manusia yang mengatakan tahun-tahun kerja advokasi akan terbuang percuma. Badan agama tertinggi Gambia mendukung pencabutan tersebut, dan menyebut FGM sebagai “salah satu keutamaan dalam Islam”.
Parlemen akhirnya memilih menolak rancangan undang-undang tersebut, tetapi para pendukung FGM sejak itu menggugat keputusan tersebut di Mahkamah Agung. Keputusan pengadilan tertinggi masih ditunggu.
Sebagian besar anak perempuan mengalami pemotongan antara masa bayi dan remaja. Namun, semakin tampak bahwa larangan tahun 2015 telah mendorong mereka yang berniat melanjutkan praktik tersebut untuk memusatkan pemotongan pada anak-anak di usia lebih dini, seperti bayi berusia satu bulan, kata para ahli.
Fatou Baldeh, salah satu advokat terkemuka Gambia yang menentang FGM, kepada Al Jazeera mengatakan bahwa lembaga nirlaba-nya, Women in Liberation and Leadership (WILL), mulai menerima laporan yang semakin meningkat sekitar tiga tahun lalu tentang keluarga yang memotong bayi bahkan semuda satu minggu.
“Mereka percaya bayi yang lebih muda sembuh lebih cepat,” kata Baldeh. “Dengan adanya undang-undang dan ketakutan akan penuntutan, banyak juga yang melihat ini sebagai cara untuk menyembunyikan praktik dan menghindari deteksi,” tambahnya, karena luka yang telah sembuh bisa lebih mudah disamarkan.
Baldeh sendiri adalah salah satu dari ribuan perempuan Gambia yang selamat dari FGM. Sang advokat mengatakan ia terus hidup dengan luka emosionalnya. Organisasinya, WILL, bertujuan untuk memberantas praktik tradisional yang berbahaya seperti FGM melalui pendidikan komunitas dan dengan melaporkan kasus kepada otoritas. Statistik akurat tentang FGM sulit didapat, ujarnya, terutama untuk bayi, karena praktik ini sering dilakukan secara rahasia dan jarang dilaporkan sebagai kejahatan sejak undang-undang disahkan.
“Inilah tepatnya mengapa kami terus mengingatkan komunitas bahwa FGM tidak pernah aman, tidak peduli usia atau setting-nya,” tambah Baldeh, merujuk pada kematian bayi baru-baru ini. “Gadis kecil ini dirampas nyawanya sebelum ia bahkan memiliki kesempatan untuk hidup. Kematiannya bukan hanya tragedi tetapi cerminan dari masyarakat yang terus mentolerir, memberikan pembenaran, atau tetap berdiam diri tentang FGM,” katanya.
Safia Ibrahim menunjukkan alat-alat yang digunakannya untuk melakukan FGM, yang dipelajarinya pada usia 15 tahun dan telah dipraktikkannya selama 35 tahun, di halaman rumahnya di Hargeisa, Somaliland, wilayah breakaway semi-otonom Somalia, pada 7 Februari 2022 [Brian Inganga/AP Photo]
Para Ibu yang Waspada
Mereka yang selamat dari rasa sakit FGM mengatakan bahwa hal itu sulit untuk dilupakan, dan bahwa konsekuensinya seumur hidup.
Naffie, seorang ibu dari tiga anak, kepada Al Jazeera menceritakan bahwa semua proses melahirkannya traumatis dan menyakitkan, dan bahwa ia sering mengalami nyeri vagina yang hebat sebagai akibat dari FGM yang dialaminya pada usia empat tahun.
“Aku harus hidup dengan luka dan rasa sakit ini seumur hidupku,” ujar perempuan 35 tahun itu.
Naffie memilih hanya menggunakan nama pertamanya karena berbicara secara publik tentang pengalaman FGM di Gambia seringkali mendatangkan stigma.
Banyak para ibu bertekad agar putri mereka tidak mengalami trauma yang sama dan menolak tekanan dari keluarga besar.
Namun, anak-anak perempuan juga berisiko disunat oleh keluarga tanpa sepengetahuan orang tuanya. Di banyak rumah tangga Gambia, keluarga hidup dalam lingkungan yang luas, dan anak-anak sering dianggap sebagai tanggung jawab keluarga besar, bukan hanya orang tua. Hal ini kadang membuat kakek-nenek, bibi, atau kerabat lain merasa berwenang mengambil keputusan untuk anak, termasuk melakukan FGM.
Sejumlah ibu mengaku terus merasa was-was dan khawatir meninggalkan anak perempuan mereka dalam pengawasan keluarga. Salah satunya adalah Sarjo Tamba, ibu tunggal yang berjanji sejak melahirkan untuk melindungi putrinya dari FGM. Namun, dalam suatu perjalanan bisnis tahun lalu, ibu dari pasangannya mengawasi penyunatan terhadap putrinya yang berusia lima tahun. Sarjo baru mengetahui pelanggaran ini setelah pulang ke rumah, sekitar dua minggu setelah kejadian.
“Suatu hari, saat memandikannya, aku melihat ada yang tidak biasa pada bagian privatnya,” kisah perempuan 34 tahun itu. “Saat itulah aku sadar dia telah disunat.”
Syok dan hati hancur, Sarjo menghadapi ibu pasangannya, yang mengaku. Insiden itu, kata Sarjo, meninggalkan rasa sakit dan ketidakpercayaan yang mendalam. Meski telah melaporkan kasusnya ke polisi, tidak ada tindakan yang diambil. Polisi berkata mereka tidak bisa ikut campur dalam urusan keluarga.
## Kendala Penuntutan
Otoritas Gambia dituduh oleh kelompok HAM gagal menuntaskan kasus FGM dan menegakkan larangan tahun 2015. Hingga 2024, hanya dua kasus yang dituntut dalam 10 tahun sejak undang-undang disahkan.
Dari jumlah itu, vonis dan hukuman hanya diberikan dalam satu kasus. Itu terjadi pada Agustus 2023, ketika tiga perempuan di kota Bakadaji, Gambia timur, didenda 15.000 dalasi Gambia (US$210) karena menyunat tiga anak perempuan dan bersiap menyunat lima lainnya. Semua korbannya masih berusia antara 4 hingga 12 bulan.
Karena ini merupakan vonis pertama berdasarkan undang-undang tersebut, kasus ini menimbulkan kontroversi karena banyak figur berpengaruh menentang hukuman itu. Seorang imam terkemuka, Abdoulie Fatty, membayar denda para terpidana dan mulai vokal menyerukan agar praktik tersebut dilegalkan.
Modou Musa Sisawo, juru bicara Kepolisian Gambia, menyalahkan sikap tertutup seputar FGM dan menyebutnya sebagai penghalang untuk menemukan dan menuntaskan kasus.
“Karena FGM dilakukan secara diam-diam, polisi biasanya baru tahu ketika muncul komplikasi, seperti yang tragis terjadi pada bayi ini, atau dalam kasus perselisihan antarorang tua,” kata Sisawo. “Dalam kebanyakan kasus, jika tidak ada komplikasi atau konflik yang terlihat, polisi sama sekali tidak menyadarinya.”
Seorang ibu mengatakan kepada Al Jazeera bahwa sangat sulit melaporkan kerabat ke polisi ketika mereka yang bertanggung jawab karena takut keluarga mungkin akan membalas. Ini menambah lapisan ketakutan dan kebisuan seputar praktik tersebut.
Seiring dengan dimulainya persidangan tiga perempuan terdakwa dalam kasus terbaru, semua mata juga tertuju pada Mahkamah Agung, yang belum memutuskan masa depan larangan FGM. Sementara itu, kelompok HAM dan pejabat mengatakan mereka akan terus meningkatkan kesadaran akan bahaya FGM untuk mencegah lebih banyak tragedi.
Abdoulie Ceesay, perwakilan parlemen untuk konstituensi Wellingara, tempat tragedi terbaru terjadi, mengaku terkejut mendengar kematian bayi tersebut. Ceesay mengatakan meski ada penolakan dari beberapa cendekiawan agama, kantornya terus mendekati pemimpin perempuan setempat untuk dukungan dalam memperingatkan masyarakat tentang bahaya FGM.
“Masalah ini sensitif,” akui Ceesay. Beberapa di negara itu, katanya, percaya bahwa para advokat terlibat dalam skema mencari uang karena dukungan internasional yang diterima oleh gerakan anti-FGM. Kesalahpahaman itu, tambahnya, terutama membuat tugas menjadi lebih sulit.
Meski begitu, anggota parlemen itu mengatakan pekerjaan terus berlanjut. “Kami terus melibatkan para pemimpin yang bersedia untuk menyebarkan pesan,” ujarnya.