Keputusan MK Soal Pemilukada yang Dipisahkan dari Pemilu Nasional Laksana Membuka Kotak Pandora

loading…

Akademisi dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum UIN Jakarta, Rahmat Ferdian Andi Rosidi, bilang putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 kayak buka kotak pandora. Foto/Dok. SindoNews

JAKARTA – Rahmat Ferdian Andi Rosidi, akademisi UIN Jakarta, ngomong kalo putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXI/2024 yg pisahin pemilu nasional sama daerah tuh kayak buka pintu buat reformasi sistem demokrasi di Indonesia.

“Putusan ini bukan cuma ngatur teknis pemilu, tapi jg jadi awal buat dorong demokrasi yg beneran buat rakyat, bukan cuma ritual 5 tahun sekali,” katanya pas jadi pembicara di Webinar Nasional bertajuk Arah Baru Demokrasi: Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Pasca Putusan MK yg diadain Forum Strategis Pembangunan Sosial (Fores), Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Dia jelasin kalo pisahin pemilu nasional sama lokal punya dampak strategis. Ini harus diliat sebagai kesempatan buat bikin sistem kaderisasi parpol yg lebih baik. “Dengan waktu lebih panjang, parpol bisa siapin caleg dan calon kepala daerah lebih matang, bukan asal comot,” ujarnya.

Dirut Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum UIN Jakarta ini berharap ini bisa hasilkan pemimpin yg lebih berkualitas. Tapi, tantangan baru juga muncul, terutama soal biaya politik.

Pisahin pemilu bisa nambah beban anggaran dan bikin biaya politik buat kandidat atau parpol jadi lebih besar. “Makanya, transparansi dan akuntabilitas keuangan politik harus diperkuat,” tegasnya.

Sonny Madjid, pegiat kajian sosial-politik, bilang pemisahan pemilu bisa kurangi praktik politik uang. Pemilu serentak sering bikin transaksi politik makin gila karena banyak kandidat bersaing di waktu yg sama.

“Dengan pemilu dipisah, transaksi kayak gitu bisa dikurangi. Juga bikin pemilih lebih fokus ngevaluasi calon secara proporsional,” katanya.

MEMBACA  Dapatkan Saldo Dana Gratis dari Afiliasi Canva, Ideal untuk Desain Grafis!

(pue)