Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, dengan jumlah kasus yang terungkap diyakini jauh di bawah jumlah kasus yang dilaporkan.
Perempuan menghadapi banyak hambatan yang menghalangi pelaporan kekerasan, termasuk rasa takut yang dalam terhadap pelaporan, rasa malu yang luar biasa, dan rasa bersalah internal yang terkait dengan pengalaman traumatis mereka.
Kesulitan dalam mengakses layanan pengaduan, diskriminasi dan reviktimisasi, serta budaya patriarki yang akar kuat merupakan hambatan tambahan bagi perempuan.
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) dari 25 November hingga 10 Desember adalah respons terhadap darurat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
16 HAKtP tahun ini bertema “Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan.”
Laporan Tahunan Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat 289.111 keluhan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023.
Dari kasus tersebut, 4.347 dilaporkan kepada Komnas Perempuan, sementara 3.303 kasus terkait dengan kekerasan berbasis gender.
Ini berarti bahwa, rata-rata, Komnas Perempuan menerima 16 keluhan setiap hari.
Data keluhan menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender (KBG) secara dominan ditandai oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah pribadi, menyumbang 284.741 kasus, atau 98,5 persen.
Sementara itu, 4.182 kasus, atau 1,4 persen, dilaporkan di ranah publik dan 188 kasus, atau 0,1 persen, di konteks negara.
Ini menunjukkan bahwa ruang domestik, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, sebenarnya merupakan tempat utama kekerasan.
Di sisi lain, kekerasan di ranah publik dan negara mencerminkan kegagalan dalam melindungi perempuan di berbagai ruang.
Pejabat yang Menangani Perwakilan Negara UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati Faiz, menekankan bahwa penegakan hukum yang kuat adalah kunci untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan.
“Kita harus mengakhiri impunitas sehingga korban dapat menerima keadilan. Hal ini penting untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan. Ketika berbicara tentang impunitas, kita juga harus membahas pentingnya penegakan hukum yang kuat,” tegasnya.
Untuk menghentikan impunitas, otoritas terkait dapat mendorong dan memperkuat pelaksanaan penegakan hukum.
Menurut Faiz, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) adalah langkah-langkah penting yang diambil pemerintah untuk menghentikan impunitas.
Berdasarkan laporan Gambaran Gender 2024 yang dilakukan oleh UN Women dan UN Desa (Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa), negara-negara yang dilengkapi dengan instrumen hukum, termasuk Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, melaporkan tingkat kekerasan terhadap pasangan yang lebih rendah, turun sebesar 9,5 persen dibandingkan dengan negara-negara yang tidak memiliki undang-undang tersebut.
Femisida
Femisida adalah kekerasan berbasis gender yang paling ekstrem terhadap perempuan.
Pada tahun 2024, beberapa kasus femisida dilaporkan di Indonesia, seperti istri yang dibunuh oleh suami, perempuan yang dibunuh oleh mantan suami, perempuan yang dibunuh oleh kekasih mereka, dan pekerja seks yang dibunuh oleh pelanggan.
Femisida didefinisikan sebagai pembunuhan yang disengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gender mereka.
Tindakan ini terjadi karena superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, atau misogini terhadap perempuan, serta rasa memiliki terhadap perempuan, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, dan kepuasan sadis.
Direktur Apik Bantuan Hukum di Semarang, Rara Ayu Hermawati, menilai bahwa petugas penegak hukum jarang menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk menangani kasus femisida.
Sejak berlakunya Undang-Undang TPKS, hanya sedikit keputusan pengadilan terkait kekerasan gender yang diambil menggunakan Undang-Undang tersebut, termasuk dalam kasus femisida.
Ini menunjukkan bahwa negara belum memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak korban dalam proses hukum.
Hukum Indonesia juga tidak memberikan definisi femisida dan penanganan kasus femisida.
Selain itu, kasus pembunuhan perempuan dan anak perempuan masih ditangani menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan/atau Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kolaborasi lintas sektor
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga mempromosikan kampanye “Berani Bersuara” di kalangan masyarakat pada 12 Desember dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Pada kesempatan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama dengan kementerian dan lembaga serta sektor swasta, mengumumkan deklarasi bersama untuk menciptakan transportasi umum yang aman, mudah diakses, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual.
Deklarasi bersama tersebut merupakan bentuk komitmen untuk mendukung percepatan implementasi Undang-Undang TPKS.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan.
“Mari gunakan momentum ini sebagai titik awal untuk memperkuat komitmen kita dalam melindungi dan memberdayakan perempuan. Dengan sinergi dari berbagai pihak, perempuan yang dilindungi dan diberdayakan akan menghasilkan generasi masa depan yang kuat dan membawa masa depan yang lebih baik bagi negara ini,” ujar menteri.
Kampanye untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bertujuan untuk mengundang semua pihak untuk bersinergi untuk mencegah, menangani, dan menghapus kekerasan terhadap perempuan. Perlindungan perempuan adalah isu kompleks yang memerlukan kerja sama yang berkelanjutan dan komitmen lintas sektor.
Berita terkait: Menteri soroti kolaborasi untuk menangani kekerasan terhadap perempuan
Berita terkait: Menteri ajak dukung pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, anak
Berita terkait: Data acuan dalam menangani kekerasan terhadap perempuan, anak: Kementerian
Penerjemah: Anita Permata Dewi, Resinta Sulistiyandari
Editor: Azis Kurmala
Hak cipta © ANTARA 2024