Ingat saat para host podcast All-In berbincang dengan pendiri Uber, Travis Kalanick, tentang "vibe physics"? Kalanick mengklaim bahwa ia hampir menemukan jenis sains baru dengan mendorong chatbot AI-nya ke wilayah yang belum pernah dijelajahi.
Tentu saja, ini absurd karena chatbot AI—atau sains—tidak bekerja seperti itu. Gagasan Kalanick langsung ditertawakan di media sosial. Namun, tim All-In kini seolah menjaga jarak, bahkan menyiratkan hal ini terkait fenomena "AI psychosis", meski mereka dulu dengan senang hati mendukung omongannya saat ia jadi tamu.
Kalanick hadir di episode 11 Juli, bersikeras bahwa ia hampir menemukan terobosan baru di fisika kuantum. "Aku mulai menjelajahi batas pengetahuan fisika kuantum dengan [Chat]GPT atau Grok, lalu melakukan vibe physics," katanya. "Dan aku sudah cukup dekat dengan beberapa temuan menarik."
Faktanya, chatbot seperti Grok dan ChatGPT tidak bisa membuat penemuan ilmiah baru—mereka hanya memproses ulang data yang ada. Tapi rekan host Chamath Palihapitiya malah mendukung Kalanick, mengklaim AI suatu saat bisa langsung memecahkan masalah apa pun.
"Ketika model AI benar-benar bebas dari batasan dunia nyata, mereka bisa belajar secara sintetis, lalu semua terbalik. Cukup berikan masalah, dan AI akan menyelesaikannya," kata Palihapitiya.
Padahal, chatbot masih sering gagal dalam tugas dasar, seperti menghitung jumlah negara bagian AS yang mengandung huruf ‘R’. Tapi CEO OpenAI, Sam Altman, tetap gemar membuat janji muluk.
Hanya Jason Calacanis yang meragukan Kalanick. Ia menanyakan apakah sang pendiri Uber "sedang membaca terlalu dalam ke hal acak di pinggiran." Kalanick mengakui AI tidak bisa benar-benar menghasilkan ide baru, tapi menyalahkan hal ini pada "keterikatan AI pada pengetahuan yang sudah ada."
Yang mengejutkan, topik ini kembali dibahas di episode terbaru All-In (15 Agustus), kali ini dengan nada mengolok. Mereka membahas "AI psychosis"—istilah tak resmi untuk menggambarkan orang yang terlalu larut dengan AI hingga mengalami gangguan mental.
"Kalian mungkin lihat sedikit gejala ini saat Travis [Kalanick] di sini beberapa minggu lalu. Ia bilang sedang mengeksplorasi ujung fisika… itu bisa menjerumuskanmu," kata Calacanis.
"Jadi Travis kena AI psychosis?" tanya David Friedberg.
"Mungkin kita perlu periksa kondisinya. Orang pintar pun bisa terjerumus," jawab Calacanis, semi-serius.
Palihapitiya menyalahkan "epidemi kesepian", tapi lupa bahwa ia sendiri dulu mendukung narasi Kalanick. Sacks menolak istilah AI psychosis, menyebutnya hanya kepanikan moral seperti ketakutan akan media sosial 20 tahun lalu.
"Aku rasa konsep AI psychosis ini omong kosong. Maksudku, apa sih ini? Orang terlalu banyak riset?" kata Sacks, mencoba meremehkan laporan media. “Ini terasa seperti kepanikan moral yang diciptakan oleh media sosial, tapi diadaptasi untuk AI.”
Sacks mengakui bahwa ada krisis kesehatan mental di AS, tapi dia tidak percaya itu kesalahan AI. Dan mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakan Sacks. Semua teknologi baru selalu membawa semacam gejolak sosial dan kekhawatiran tentang apa arti penemuan tersebut bagi masa depan. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa orang-orang jauh lebih kesepian dan terisolasi sejak munculnya media sosial. Dan mungkin tidak semuanya kesalahan media sosial. Tapi teknologi revolusioner pasti akan memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat.
Pertanyaannya selalu apakah dampak positifnya lebih besar daripada negatifnya. Dan jawabannya masih belum jelas, baik untuk media sosial maupun chatbot AI.”