Meski (syukurlah) hanya terjadi sekali dalam kehidupan nyata, perang nuklir telah lama menjadi elemen utama dalam fiksi ilmiah. Penggambaran populer konflik nuklir—dari film biografi thriller seperti Oppenheimer hingga bencana imajiner seperti The Day After—mencerminkan pemahaman bahwa dampaknya akan bersifat permanen dan menghancurkan bagi masyarakat modern.
Tak mengherankan, perang nuklir dan konsekuensinya menjadi perhatian para ilmuwan seperti halnya penulis fiksi. Dalam makalah terbaru yang diterbitkan di Environmental Research Letters, peneliti dari Pennsylvania State University meneliti bagaimana perang nuklir dapat mengganggu ketahanan pangan global, khususnya produksi jagung—tanaman biji-bijian paling banyak diproduksi di dunia. Studi ini memperingatkan bahwa dalam skenario terburuk, senjata nuklir akan merusak sistem atmosfer, secara bertahap mengurangi produksi jagung tahunan hingga 87%.
Dalam simulasi mereka, penulis mempertimbangkan 38.572 lokasi produksi jagung di enam skenario perang nuklir dengan tingkat keparahan berbeda. Simulasi dilakukan dalam kondisi nuclear winter, sebuah skenario iklim hipotetis pasca perang nuklir skala besar. Selama musim dingin nuklir, karbon hitam dari kebakaran akibat ledakan nuklir akan memenuhi langit, menghalangi sinar matahari. Penurunan suhu global akibatnya bisa berlangsung lebih dari satu dekade—cukup lama untuk menghancurkan sistem pertanian dunia, menurut para ilmuwan.
Selain karbon hitam, penulis juga meneliti paparan radiasi UV-B pada tanaman. Lapisan ozon Bumi biasanya menahan radiasi jenis ini, tetapi lapisan pelindung ini akan melemah setelah perang nuklir. Karena radiasi UV-B merusak DNA dan menghambat fotosintesis tanaman, para peneliti memodelkan bagaimana paparan berlebihan sumber energi ini dapat memengaruhi sistem tanah-tumbuhan-atmosfer yang mendukung pertumbuhan tanaman.
Hasilnya mengkhawatirkan. Dalam skenario "terbaik", yaitu perang nuklir regional, cukup banyak jelaga yang terlepas ke atmosfer untuk mengurangi produksi jagung tahunan sebesar 7%—yang jelas akan berdampak serius pada sistem pangan global, jelas Yuning Shi, penulis utama studi dan ahli meteorologi, dalam siaran pers. Di sisi lain, perang skala global akan menyuntikkan 165 juta ton jelaga ke atmosfer, menekan produksi jagung global hingga 80%.
Tak hanya itu; menurut makalah tersebut, kerusakan akibat radiasi akan "mencapai puncak pada tahun ke-8 dan ke-9" setelah ledakan awal, menyebabkan penurunan tambahan 7% pada hasil panen jagung. "Ledakan dan bola api dari ledakan atom menghasilkan nitrogen oksida di stratosfer," jelas Shi. Ini, bersama dengan jelaga yang menyerap panas, menciptakan siklus berbahaya di atmosfer yang "dengan cepat menghancurkan ozon, meningkatkan tingkat radiasi UV-B di permukaan Bumi."
Syukurnya, ini hanyalah simulasi. Namun, studi ini "memaksa kita menyadari kerapuhan biosfer—keseluruhan makhluk hidup dan interaksinya dengan lingkungan," kata Shi. Selain itu, penelitian ini bisa menjadi landasan bagi rencana respons yang lebih matang dan efektif terhadap bencana potensial, tambahnya.
Semoga saja bencana itu bukan perang nuklir—walaupun mungkin sesuatu seperti letusan gunung berapi, yang juga menghalangi sinar matahari dengan cara serupa dan bisa kita persiapkan lebih baik. Misalnya, makalah ini merekomendasikan penyiapan "kit ketahanan pertanian" berisi benih tanaman yang bisa tumbuh dalam kondisi lebih dingin.
"Kit ini dapat membantu mempertahankan produksi pangan di tahun-tahun tidak stabil pasca perang nuklir, sambil menunggu pemulihan rantai pasok dan infrastruktur," kata Armen Kemanian, ahli sistem lingkungan dan penulis senior makalah, dalam siaran yang sama. Tapi kit ini juga bisa membantu ketahanan pangan di daerah terdampak aktivitas vulkanik ekstrem, tambahnya.
Bencana alam di luar kendali kita, kecuali dalam hal persiapan. Tapi bencana lingkungan akibat ulah manusia dan kelaparan global—itu cerita yang sama sekali berbeda. Dalam konteks nuclear winter, "cara terbaik mencegah dampak dahsyatnya adalah dengan menghindarinya," tulis para ilmuwan.