Selama pemilu presiden 2020, kampanye Bernie Sanders memutuskan untuk memamerkan dukungan dari Joe Rogan. Reaksinya cepat sekali: para insider Partai Demokrat dan aktivis yang sejalan menuntut Sanders meminta maaf dan mencabut dukungannya. Konsensus umum saat itu seolah menunjukkan bahwa Rogan, sebagai simbol maskulinitas "regresif," tak bisa diterima di dalam tenda biru. Bulan lalu, sebagai tanda betapa berubahnya kalkulasi politik sejak itu, Partai Demokrat mengumumkan kesediaannya mengeluarkan banyak uang untuk "menemukan" sosok "Joe Rogan" versi mereka sendiri.
Saat ini, "masalah maskulinitas" Partai Demokrat sudah menjadi fenomena yang dikenal luas. Kaum pria semakin terpapar "red pill" dan meninggalkan partai yang dulu kerap memenangkan pemilu nasional berkat suara pria dari kalangan buruh hingga profesional. Bulan lalu, Partai Demokrat mengumumkan niatnya menghabiskan dana besar demi memahami psikologi pria dan merancang strategi menarik mereka kembali.
Politico kini memberikan lebih banyak konteks tentang proyek Speaking with American Men (SAM), yang mengklaim siap menggelontorkan $20 juta untuk memahami pria modern dan cara terbaik mendekati mereka. SAM telah menyelesaikan riset awal tentang subjek "eksotis" ini, yang dibagikan secara eksklusif ke Politico. Media itu menyebut bahwa eksplorasi pertama ke "Dude Studies" ini melibatkan 30 kelompok fokus dan survei konsumsi media nasional. Hasilnya cukup jelas: banyak pria muda "percaya bahwa ‘tak ada partai yang membela kami’," seperti ungkapan seorang pria kulit hitam asal Georgia dalam kelompok fokus. Partisipan juga menggambarkan Demokrat sebagai "terlalu kaku dan hati-hati, sementara Republik dianggap percaya diri dan tak takut menyinggung."
"Demokrat dianggap lemah, sedangkan Republik dianggap kuat," kata Ilyse Hogue, salah satu pendiri SAM, kepada Politico. "Pria muda juga merasa tak terlihat oleh koalisi Demokrat, jadi ada masalah ‘lemah’ plus ‘mereka tak peduli’—kombinasi yang mematikan." Hogue menambahkan bahwa SAM berencana menjangkau demografi yang hilang ini dengan memperluas kehadiran di platform daring tempat pria biasa berkumpul:
Hogue menyebut bagian dari misi SAM adalah "super charging pendengaran sosial" dan membangun pengaruh progresif di Discord, Twitch, serta platform lain melalui proposal penggalangan dana. Mereka mendorong kandidat Demokrat menggunakan iklan digital nontradisional, terutama di YouTube, iklan dalam game, serta podcast olahraga dan gaming.
Tapi, entah Hogue tepat mengidentifikasi masalah atau tidak, upayanya tampak akan gagal. Bahkan, upaya itu sendiri adalah masalahnya. Dengan mempelajari pria seolah mereka makhluk asing—bukan 50% populasi—Demokrat sudah membuktikan diri sangat kuno dan, sesuai, tak jantan. Apa pria sejati menghamburkan uang hanya untuk belajar bicara pada sesama pria? Saya tak ingat John Wayne pernah melakukannya.
Partai Demokrat butuh sekitar satu dekade untuk terjebak dalam lubang ini, dan mungkin butuh sepuluh tahun lagi untuk keluar. Sejak 2016, partai ini cenderung ke kiri dalam isu sosial—proses yang berarti menjauhi pria "tradisional" dan memprioritaskan kepentingan perempuan serta minoritas. Dalam periode yang sama, politik feminis reaksioner—dipicu sebagian oleh Trump sendiri—berkuasa dengan terbuka mendemonisasi pria. Gerakan ini menuduh pria Amerika sebagai biang berbagai masalah sosial, dari manspreading hingga mansplaining, "patriarki," "rape culture", "toxic masculinity", "fragility," inceldom, dan segudang isu lain. Demokrat, yang secara tradisional terkait erat dengan gerakan perempuan, terseret dalam kubangan ini. Hasilnya bisa ditebak: survei konsisten menunjukkan pembelahan politik berdasarkan gender, dengan perempuan muda semakin condong ke kiri, sementara pria muda bergeser ke kanan. Survei NBC awal tahun ini memperlihatkan jurang "mencengangkan" antara Gen-Z pria dan perempuan, dengan polarisasi mengikuti garis partai.
Strateg Demokrat fokus pada platform teknologi untuk menjangkau pria muda. Ini penting, tapi bukan yang terpenting. Teknologi tidak sepenting pesan yang disampaikan Demokrat di platform itu. Gavin Newsom baru meluncurkan podcast-nya—langkah berani yang belum berhasil karena pesannya kacau. Figur Demokrat lain, termasuk Bernie Sanders (dan, menariknya, Anthony Weiner yang terpuruk), berusaha masuk ke dunia podcast ala "manosphere" tempat pria muda menghabiskan waktu.
Sementara itu, kaum konservatif terbukti sangat mahir memanfaatkan media. Trump sukses mengeksploitasi kekecewaan pria muda terhadap Demokrat dalam pemilu 2024 dengan menyasar ekosistem media tempat mereka berada: sirkuit podcast maskulin seperti Joe Rogan, Theo Von, dan Flagrant.
Tapi sekali lagi, medianya tak sepenting pesannya. Gaya orasi Trump hiper-maskulin—seperti campuran Huey Long dan Tony Montana. Namun bagi banyak pria, itu efektif. Ada alasan Scarface menjadi film klasik "pria": protagonisnya adalah libido yang tak terkendali, penuh "keberanian"—seseorang yang bertindak sesuka hati, konsekuensi apa pun diabaikan. Gaya politik Trump bisa dibilang mirip: berani tapi sembrono. Ia bicara dan bertindak berdasarkan naluri secara blak-blakan, meski sering kali kontennya bodoh dan provokatif.
Kurang lebih, Demokrat bisa menghemat $20 juta hanya dengan menonton film laga tahun 1980-an selama seminggu. Die Hard pasti lebih mengajari pollster Demokrat berkacamata tentang psikologi pria daripada belasan "kelompok fokus." Kenapa? Karena film itu lahir di era ketika maskulinitas Amerika masih jadi bagian dominan budaya. John McClane adalah koboi di tengah kobaran Barat liar yang terbuat dari beton dan baja. Dia mengumpat, merokok, dan menyingkirkan musuhnya dengan senapan mesin ringan serta senyum sinis. Aku tak bilang Tim Waltz harus membereskan lawannya pakai Beretta, cuma menunjukkan kalau dia bicara soal itu (kaya Trump), mungkin nggak bakal jadi hal terburuk di dunia.