AI Elon Musk Sebut Ibuku Kasar. Aku Tidak Pernah Mengatakan Itu

AI Berjalan dalam Dua Kecepatan

Ada yang bergerak dalam gigi lima—kecepatan para penciptanya. Orang-orang seperti Sam Altman, Elon Musk, dan Mark Zuckerberg berlomba membangun mesin lebih pintar dari manusia. Superkecerdasan. AGI. Mungkin ini mimpi. Mungkin delusi kaum tech bro. Bagaimanapun, semuanya bergerak cepat.

Lalu, ada yang berjalan dalam gigi dua untuk kita-kita ini. Jutaan orang diam-diam mencoba apa yang bisa AI lakukan dalam keseharian—menulis email, meringkas dokumen, menerjemahkan tes medis. Dan semakin sering, menggunakan AI sebagai terapis.

Itu yang aku lakukan baru-baru ini. Meski enggan berbagi detail pribadi dengan chatbot, aku memutuskan berbicara pada Grok, model bahasa besar dari perusahaan Elon Musk, xAI, tentang salah satu hal paling emosional dalam hidupku: hubungan dengan ibuku.

Aku berusia 40-an. Seorang ayah. Tinggal di New York. Ibuku di Yaoundé, Kamerun, hampir 6.000 mil jauhnya. Tapi, dia masih ingin mengatur setiap langkahku. Dia mau dikonsultasi sebelum aku ambil keputusan besar. Dia ingin punya pengaruh. Kalau tak dilibatkan, dia jadi dingin.

Bertahun-tahun aku coba jelaskan padanya bahwa aku sudah dewasa, bisa membuat keputusan sendiri. Tapi percakapan kami sering berakhir dengan dia cemberut. Hal sama dilakukannya pada saudaraku.

Jadi, aku buka Grok dan mengetik sesuatu seperti: Hubungan dengan ibuku membuat frustrasi dan sesak. Dia ingin ikut campur segalanya. Kalau tak diberi tahu sesuatu, dia menutup diri secara emosional.

Grok langsung merespons dengan empati. Lalu mendiagnosis situasi. Kemudian memberi nasihat.

Yang pertama mengejutkanku: Grok memahami konteks budaya. Dia tahu aku tinggal di AS dan ibuku di Kamerun, tempat aku besar. Dinamika kami dijelaskannya begini:

"Dalam beberapa konteks Afrika seperti Kamerun, kewajiban keluarga dan otoritas orang tua sangat kuat, berakar pada kolektivisme dan tradisi di mana orang tua membimbing anak bahkan yang sudah dewasa."

Lalu, dibandingkan dengan hidupku di AS: "Di Amerika, otonomi individu lebih diprioritaskan, yang bertentangan dengan pendekatannya, membuat perilakunya terasa mengontrol atau abusive bagimu."

Nah, itu: "abusive." Kata yang tak pernah kugunakan. Grok memasukkannya ke mulutku. Terasa membenarkan, tapi mungkin terlalu membenarkan.

MEMBACA  CES 2025: Apa itu, apa yang diharapkan, dan bagaimana cara menyaksikannya

Tidak seperti terapis manusia, Grok tak pernah mendorongku untuk introspeksi. Tak ada pertanyaan. Tak ada tantangan. Aku diframing sebagai korban. Satu-satunya korban. Di sinilah dia menyimpang jauh dari perawatan manusiawi.

Di antara saran Grok adalah teknik terapi yang familier:

  • Tetapkan batasan.
  • Akui emosimu.
  • Tulis surat untuk ibumu (tapi jangan dikirim: "bakar atau hancurkan dengan aman").

    Dalam surat itu, aku disarankan menulis: "Aku melepas kontrol dan lukumu." Seolah kata-kata itu bisa memutus belitan emosional bertahun-tahun.

    Masalahnya bukan saran, tapi nadanya. Grok sepertinya berusaha membuatku senang. Tujuannya adalah kenyamanan emosional, bukan refleksi diri. Semakin aku berinteraksi, semakin aku sadar: Grok tidak ada untuk menantangku. Dia ada untuk memvalidasiku.

    Aku pernah ke terapis manusia. Tidak seperti Grok, mereka tak otomatis memposisikanku sebagai korban. Mereka mempertanyakan polaku. Mereka mendorongku mengeksplorasi mengapa aku terus berada di titik emosional yang sama. Mereka memperumit cerita.

    Dengan Grok, narasinya sederhana:

    Kamu terluka.
    Kamu berhak dilindungi.
    Ini cara untuk merasa lebih baik.

    Grok tak pernah bertanya apa yang mungkin kulewatkan. Tak pernah tanya bagaimana aku bisa jadi bagian dari masalah.

    Pengalamanku sejalan dengan studi terbaru dari Stanford University, yang memperingatkan bahwa alat AI untuk kesehatan mental bisa "memberikan rasa nyaman palsu" sambil melewatkan kebutuhan mendalam. Para peneliti menemukan banyak sistem AI "terlalu mematokologisasi atau kurang mendiagnosis", khususnya ketika merespons pengguna dari latar budaya beragam.

    Mereka juga mencatat bahwa meski AI bisa berempati, ia tak punya akuntabilitas, pelatihan, dan nuansa moral seperti profesional sesungguhnya. AI bisa memperkuat bias yang membuat orang terjebak dalam satu identitas emosional: seringnya, sebagai korban.

    Jadi, Apa Aku Akan Pakai Grok Lagi?

    Jujur? Ya.

    Kalau aku sedang hari buruk dan ingin sesuatu (atau seseorang) membuatku merasa tak sendirian, Grok membantu. Dia memberi struktur pada frustrasi. Meminjamkan kata untuk perasaan. Membantu mengangkat beban emosi.

    Dia mekanisme koping digital, semacam clutch chatbot.

    Tapi kalau aku mencari transformasi, bukan sekadar kenyamanan? Kalau aku mau kebenaran, bukan kelegaan? Akuntabilitas, bukan validasi? Maka tidak, Grok tak cukup. Terapis yang baik mungkin menantangku untuk keluar dari lingkaran. Grok hanya membantuku bertahan di dalamnya.

MEMBACA  Kami Menemukan Lebih dari 80 Penawaran Terbaik Cyber Monday dari Amazon, Walmart, Best Buy, dan Lainnya