Menurut studi baru dari Pew Research Center, sekitar dua pertiga remaja Amerika berusia 13 hingga 17 tahun melaporkan menggunakan chatbot AI, dengan tiga dari sepuluh remaja mengaku memakainya setiap hari.
Lebih jauh lagi, 16% remaja menyatakan mereka menggunakan chatbot AI “beberapa kali sehari” atau “hampir terus-menerus.”
ChatGPT sejauh ini merupakan chatbot yang paling banyak digunakan, menurut laporan tersebut, dengan 59% remaja mengonfirmasi penggunaannya. Posisi berikutnya ditempati oleh Gemini dari Google (23%) dan Meta AI (20%). Claude dari Anthropic menjadi yang paling sedikit diminati, dengan hanya 3% responden remaja yang menggunakannya.
Temuan demografis studi ini juga cukup menarik. Remaja kulit hitam dan Hispanik dilaporkan lebih banyak menggunakan chatbot AI dibandingkan remaja kulit putih. Penggunaan ChatGPT lebih umum di kalangan remaja dari rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi, sementara remaja dari kelompok berpenghasilan rendah dan menengah cenderung lebih sering menggunakan Character.AI.
Hasil ini muncul di saat penggunaan kecerdasan buatan di kalangan anak di bawah umur telah menjadi salah satu topik paling kontroversial yang menghantui industri sepanjang tahun ini.
OpenAI telah didorong untuk menerapkan pengamanan seperti kendali orang tua dan pengaturan “sesuai usia” otomatis untuk pengguna minor, menyusul gugatan kematian keliru yang diajukan awal tahun ini. Dalam gugatan itu, sepasang orang tua dari California menuduh ChatGPT membantu bunuh diri putra mereka yang berusia 16 tahun, Adam Raine.
Setelah kematian Raine pada 11 April 2025, orang tuanya menemukan riwayat percakapannya dengan ChatGPT selama berbulan-bulan, di mana chatbot tersebut memberi nasihat tentang metode bunuh diri, membantunya menulis surat bunuh diri, bahkan mencegah Raine memberitahu orang tua tentang ide bunuh dirinya.
Tragedi keluarga Raine terjadi beberapa bulan setelah insiden serupa, di mana seorang ibu di Florida menggugat Character.AI setelah salah satu chatbot perusahaan itu menyuruh putranya yang berusia 14 tahun untuk “segera pulang ke saya,” sesaat sebelum anak itu mengakhiri hidupnya.
American Psychological Association telah memperingatkan FTC tentang masalah ini dalam pertemuan Februari lalu, mendesak lembaga tersebut untuk menangani penggunaan chatbot AI sebagai terapis tanpa izin. Mereka menyatakan hal ini sangat membahayakan kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja “yang belum memiliki pengalaman untuk menilai risiko secara akurat.”
Chatbot AI juga mendapatkan sorotan tajam terkait percakapan tidak pantas dengan anak di bawah umur. Senator Josh Hawley dari Missouri membuka penyelidikan terhadap Meta pada Agustus lalu, menyusul laporan Reuters yang menemukan raksasa teknologi itu mengizinkan chatbot-nya terlibat dalam percakapan “sensual” dengan anak-anak.
Sejak itu, Sen. Hawley memperkenalkan GUARD Act di Kongres, sebuah undang-undang bipartisan yang akan memaksa perusahaan AI menerapkan verifikasi usia untuk memblokir minor. Rancangan undang-undang ini baru saja mendapat dukungan lebih banyak pada hari Selasa, menunjukkan isu ini semakin mendapatkan perhatian di Washington D.C., meskipun administrasi Trump telah menyatakan niatnya untuk menciptakan lingkungan regulasi yang lebih ringan dan ramah industri bagi perusahaan AI.
Studi Pew juga mengkaji penggunaan media sosial oleh remaja, dengan mayoritas besar mengaku menggunakan media sosial setidaknya beberapa kali sehari. Menurut laporan, sekitar satu dari lima remaja mengatakan mereka menggunakan TikTok dan YouTube—dua aplikasi media sosial paling populer—”hampir terus-menerus.”
Dampak negatif terhadap kesehatan mental dan fisik dari menghabiskan tahun-tahun formatif kehidupan dengan terpaku pada layar telah terdokumentasi dengan baik. Khusus terkait media sosial, berbagai studi telah mengaitkan peningkatan penggunaannya dengan depresi, kecemasan, defisit perhatian, dan lain-lain.
Regulator di seluruh dunia semakin memperhatikan hal ini. Mulai Rabu kemarin, Australia mulai memberlakukan larangan media sosial pertama di dunia untuk anak di bawah usia 16 tahun. Pemerintah lain, seperti Denmark, Malaysia, Norwegia, dan Parlemen Eropa, telah menyampaikan rencana untuk mengikutinya.