Utusan senior Afrika Presiden Donald Trump, Massad Boulos, menampik kritik bahwa proposal terbaru AS untuk mengakhiri perang saudara Sudan “berat sebelah”.
AS, Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) telah berupaya menjadi mediator antara Angkatan Darat Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang telah bertempur selama lebih dari dua tahun.
Pada Minggu, panglima Angkatan Darat Sudan Abdel Fattah al-Burhan menyatakan proposal gencatan senjata terbaru tak dapat diterima dan proposal mendatang juga akan sepihak selama UEA terlibat dalam negosiasi.
Negara Teluk itu membantah memberikan dukungan kepada RSF dan pada Selasa, Boulos menyatakan bias yang disebutkan Burhan itu tidak ada.
“Ia merujuk pada sesuatu yang tidak eksis, yang tak pernah kami ajukan. Jadi kami tidak tahu apa yang ia maksud,” lapor kantor berita AFP yang mengutip pernyataan Boulos dalam briefing media bersama penasihat kepresidenan UEA Anwar Gargash.
Dalam pidato video pada Minggu, Burhan menyatakan proposal rencana perdamaian terbaru adalah “yang terburuk” karena mengesampingkan angkatan darat dan “mengizinkan Pasukan Dukungan Cepat untuk tetap berdiamanan”.
Ia menuduh penasihat Trump berupaya memaksakan kondisi.
“Kami bukan advokat perang, juga tidak menolak perdamaian, tapi tak seorang pun dapat mengancam kami atau memaksakan kondisi kepada kami,” ujarnya.
“Kami khawatir Massad Boulos mungkin menjadi penghalang bagi perdamaian yang didambakan seluruh rakyat Sudan.”
AS, Arab Saudi, Mesir, dan UEA—yang secara kolektif dijuluki “the Quad”—mengajukan gencatan senjata kemanusiaan tiga bulan kepada kedua pihak pada September. Mereka menyatakan kesepakatan tersebut harus diikuti dengan gencatan senjata permanen dan transisi ke pemerintahan sipil.
Pada saat itu, Angkatan Darat menolak “intervensi asing”—yang menurut pengamat merujuk pada UEA—dan segala upaya yang menyamakannya dengan “milisia teroris rasis yang mengandalkan tentara bayaran asing”.
Angkatan Darat Sudan telah berulang kali menuduh UEA memasok senjata dan pejuang asing kepada RSF.
Para ahli PBB menyatakan tuduhan dukungan militer semacam itu kredibel, namun negara Teluk itu telah membantah segala keterlibatan dengan RSF.
Pada Senin, RSF mengumumkan gencatan senjata sepihak tiga bulan “sebagai tanggapan terhadap upaya internasional, terutama dari Yang Terhormat Presiden AS Donald Trump”, untuk mengakhiri perang.
Namun, Angkatan Darat menyatakan pada Selasa bahwa RSF telah menyerang kota Babanusa, benteng terakhir Angkatan Darat di negara bagian Kordofan Barat.
Awal November, ibu kota Sudan, Khartoum—yang dikuasai Angkatan Darat—diserang oleh drone sehari setelah RSF setuju pada gencatan senjata kemanusiaan sebelumnya.
Deklarasi gencatan senjata RSF “tampaknya sebagian besar merupakan siasat politik”, ujar analis Sudan Kholood Khair kepada program Newsday BBC.
“Angkatan Darat begitu bersikukuh tentang prospek gencatan senjata dan pada dasarnya ini adalah cara untuk meraih kemenangan politik di mata the Quad, khususnya Amerika Serikat,” ujar Khair, pendiri lembaga pemikir Confluence Advisory.
Pekan lalu, Trump menyatakan akan melakukan intervensi untuk membantu mengakhiri perang, yang telah mengusir 12 juta orang dari rumah mereka dan menyebabkan apa yang disebut PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Tidak ada pencatatan sistematis mengenai jumlah orang yang tewas, tetapi pada Mei 2024, utusan khusus AS untuk Sudan saat itu, Tom Perriello, mengindikasikan perkiraan mencapai 150.000.
Dalam beberapa pekan terakhir, laporan tentang kekejaman di kota Sudan, el-Fasher telah memicu kecaman internasional.
RSF dituduh melakukan pembunuhan massal, pembersihan etnis, dan kekerasan seksual setelah merebut kota bulan lalu, lokasi utama terakhir yang masih berada di luar kendali mereka di wilayah Darfur yang luas di barat.
Kelompok paramiliter yang pernah menjadi sekutu Angkatan Darat itu telah berulang kali membantah pelanggaran tersebut, meskipun bulan lalu pimpinan milisi, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, menyatakan akan melakukan penyelidikan atas “pelanggaran” yang dilakukan oleh pasukannya.
Kedua belah pihak dituduh melakukan kejahatan perang selama konflik yang pecah pada April 2023.