Di sebuah kota terpencil di Kyrgyzstan selatan, guru Nur Akhmatov menyaksikan para pekerja membangun perpustakaan, aula konferensi, dan pusat olahraga wanita—proyek yang mayoritas didanai oleh para emigran Kyrgyz yang mengirim uang dari Rusia.
Proyek di Batken ini menggambarkan betapa pentingnya tenaga kerja emigran bagi perekonomian di seluruh Asia Tengah.
Berdasarkan data Bank Dunia, aliran remitansi ke wilayah ini mencapai rekor tertinggi tahun lalu.
Sebanyak $3 miliar mengalir ke Kyrgyzstan dari pekerja migran di luar negeri, menyumbang sekitar 25% dari produk domestik bruto negara itu.
Di Tajikistan tetangga, $6 miliar mencapai hampir separuh GDP—tingkat tertinggi di dunia.
Uzbekistan, negara terpadat di kawasan itu, menerima $14,8 miliar—14% dari GDP.
“Saat bekerja di Moskow, saya menyumbang 300 som ($3) per bulan,” kata Akhmatov, yang mengawasi pembangunan di desanya.
Sekitar 1.500 migran baru-baru ini menyumbang untuk membangun sekolah baru di Batken, tempat gaji rata-rata sekitar $235.
Pusat olahraga baru menjadi kebanggaan khusus bagi guru Abazbek Abdinabiyev.
“Dulu anak-anak bermain di debu… sekarang kami punya ini, plus lapangan,” katanya kepada AFP, menunjuk lapangan olahraga dalam ruangan berwarna biru dan kuning cerah.
“Kontribusi para migran sangat besar. Meski jauh, mereka semua membantu agar anak dan saudara mereka bisa dapat kesempatan ini,” ujar Abdinabiyev.
– ‘Kewajiban setiap warga’ –
Mata uang lokal melemah terhadap rubel Rusia belakangan ini, meningkatkan daya beli uang yang dikirim pekerja migran.
Pemerintah Kyrgyzstan memperkirakan, tanpa remitansi, tingkat kemiskinan negara itu bakal naik dari 29% menjadi 41%.
Tak mampu membiayai proyek semacam ini sendiri, pemerintah mendorong sumbangan warga.
“Memperindah negara adalah kewajiban setiap warga,” tertulis di spanduk pemerintah di Mehrobod, Tajikistan utara.
“Setiap distrik berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri: menyekolahkan anak, menjaga kebersihan jalan,” kata warga Abdukakhor Majidov.
Di sekitarnya, pekerja dengan roller dan sekop meratakan tanah sebelum diaspal.
Sekolah dan jembatan baru sudah selesai dibangun tahun lalu.
“Begitu satu jalan diperbaiki, kami lanjut ke yang berikutnya,” kata Majidov, yang menangani penggalangan dana.
– ‘Emigrasi berkurang’ –
Tapi pergi ke Rusia sudah tak semenarik dulu sejak Moskow invasi Ukraina tahun 2022.
Meski pabrik senjata Rusia berkembang dan lapangan kerja melimpah, banyak yang takut dikirim berperang di Ukraina.
Sekitar 20.000 migran Asia Tengah yang punya kewarganegaraan Rusia sudah bergabung dengan tentara, kata Moskow bulan lalu.
Rekrutan ini memicu reaksi di kalangan sekutu tradisional Rusia di kawasan itu.
Tanpa merinci, Presiden Tajikistan Emomali Rakhmon menyatakan keprihatinan atas “ratusan peti mati” yang kembali dari Rusia, berisi mereka yang pergi “untuk mencari nafkah keluarga.”
Sentimen anti-migran juga meningkat di Rusia setelah penangkapan empat warga Tajik yang dituduh sebagai pelaku pembantaian di venue musik dekat Moskow tahun 2024—serangan teror terburuk dalam dua dekade.
Selain kekerasan dan pelecehan di jalanan, Moskow mengesahkan hukum yang mempermudah deportasi migran.
Kadyrbek Tashimbekov, 29, termasuk dari 300.000 warga Kyrgyz yang meninggalkan Rusia—sukarela atau dipaksa—antara 2023 dan 2024, menurut statistik Bishkek.
Ini lebih dari separuh total migran Kyrgyz di Rusia.
“Saya dideportasi setelah bekerja delapan tahun di sana,” katanya. Kini ia mengoperasikan crane untuk memasang balok di sekolah baru Batken.
Presiden Kyrgyzstan Sadyr Japarov berjanji akan mendorong migran kerja untuk pulang.
Sementara warga berharap bisa gunakan dana mereka untuk tingkatkan taraf hidup dan hentikan siklus emigrasi.
Tiga mantan migran yang diwawancarai AFP—Abdinabiyev, Akhmatov, dan Tashimbekov—bilang gaji di dalam negeri meningkat dan tak berencana kembali ke Rusia.
“Kami bangun ini dengan harapan, jika ada pusat seperti ini, kami bisa latih mereka dengan profesi yang tepat, bimbing mereka,” kata Akhmatov.
“Dan mungkin emigrasi akan berkurang.”
bk/gde-mmp/jc/lth