Grace Tsoi, BBC World Service dan BBC News Chinese, Hong Kong
Jimmy Lai, 78 tahun, menghadapi hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan kejahatan keamanan nasional.
Pada suatu pagi musim dingin tahun 2022, Raphael Wong dan Figo Chan berjalan memasuki Penjara Stanley di Hong Kong untuk menemui Jimmy Lai, miliarder media yang telah ditangkap dua tahun sebelumnya dan menunggu persidangan dengan tuduhan pelanggaran keamanan nasional.
Mereka semua pernah menjadi bagian dari protes bergolak yang mengguncang Hong Kong pada 2019, ketika ratusan ribu orang turun ke jalan menuntut demokrasi dan lebih banyak kebebasan di wilayah Tiongkok tersebut.
Mereka juga kerap bertemu untuk makan malam, terkadang hidangan mewah, bergosip dan bersenda gurau sambil menikmati dim sum, pizza, atau nasi claypot.
Di penjara, dia “sangat suka makan nasi dengan acar jahe,” kata Chan. “Tak ada yang menyangka Jimmy Lai akan makan makanan seperti itu!”
Tapi mereka juga tak pernah membayangkan reuni di sebuah penjara keamanan maksimum, protes-protes telah dipadamkan, kawan-kawan dan sesama aktivis dipenjara, Hong Kong tetap riuh namun telah berubah. Dan lenyaplah pemilik julukan tak hormat “Fatty Lai”: bobot tubuhnya telah menyusut drastis.
Terpaut dekade — Lai telah 70-an, Wong dan Chan sekitar 40 tahun lebih muda — mereka masih memimpikan Hong Kong yang berbeda. Lai adalah figur kunci dalam protes-protes itu, mengerahkan asetnya yang paling berpengaruh, surat kabar amat populer Apple Daily, dengan harapan membentuk Hong Kong menjadi demokrasi liberal.
Hal itu terbukti berisiko di bawah undang-undang keamanan nasional yang kontroversial yang diterapkan pada 2020 oleh penguasa Partai Komunis Tiongkok di Beijing.
Lai selalu berkata ia berhutang pada Hong Kong. Meski berkewarganegaraan Inggris, ia menolak untuk pergi.
“Saya mendapatkan segala yang saya miliki karena tempat ini,” katanya kepada BBC beberapa jam sebelum ditangkap pada 2020. “Ini adalah penebusan dosa saya,” ujarnya, tersekat.
Ia menginginkan kota itu terus memiliki kebebasan yang telah diberikan kepadanya. Itulah yang mendorong politiknya — yang sangat kritis terhadap Partai Komunis dan terang-terangan mendukung gerakan pro-demokrasi Hong Kong. Hal itu membuatnya kehilangan kebebasannya sendiri.
**Tonton: Wawancara terakhir Jimmy Lai sebagai orang bebas pada 2020**
Lai menyimpan “kebencian membabi-buta” terhadap Partai Komunis Tiongkok dan “obsesi untuk mengubah nilai-nilai Partai menjadi nilai-nilai dunia Barat,” demikian putusan Pengadilan Tinggi pada Senin saat membacakan vonis dalam persidangannya.
Pengadilan menyatakan bahwa Lai berharap partai akan digulingkan — atau, setidaknya, pemimpinnya Xi Jinping akan disingkirkan.
Lai dinyatakan bersalah atas semua tuduhan yang selalu ia sangkal. Yang paling serius — bersekongkol dengan kekuatan asing — membawa hukuman maksimal penjara seumur hidup.
“Tidak pernah,” kata Lai terhadap tuduhan itu saat memberikan kesaksian, berargumen bahwa ia hanya mengadvokasi apa yang diyakininya sebagai nilai-nilai Hong Kong: “supremasi hukum, kebebasan, perjuangan demokrasi, kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan berkumpul.”
Vonis hari Senin disambut baik oleh Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee, yang mengatakan Lai menggunakan surat kabarnya untuk “secara serampangan menciptakan konflik sosial” dan “mengagungkan kekerasan”. Hukum, tambahnya, tidak pernah mengizinkan siapapun untuk membahayakan negara “dengan kedok hak asasi manusia, demokrasi, dan kebebasan”.
**Getty Images**
Istri Lai, Teresa, dan putranya, Shun-yan, di pengadilan untuk vonis Lai, bersama Cardinal Joseph Zen, mantan uskup Hong Kong yang membaptis Lai pada 1997.
Kembali ke tahun 2022, sebelum Wong dan Chan meninggalkan penjara, Lai meminta mereka berdoa bersamanya, yang mengejutkan Wong.
Iman Katolik Lai telah mendalam selama dalam kurungan isolasi — sebuah pengaturan yang ia minta sendiri, menurut otoritas. Ia berdoa enam jam sehari dan membuat gambar-gambar Kristus, yang ia kirim via pos kepada teman-teman. “Meskipun ia menderita,” kata Wong, “ia tidak mengeluh maupun takut. Ia berada dalam kedamaian.”
Kedamaian bukanlah yang dikejar Jimmy Lai selama sebagian besar hidupnya — bukan saat ia melarikan diri dari Tiongkok sebagai anak 12 tahun, bukan saat ia bekerja keras naik dalam rantai pabrik yang melelahkan, bahkan bukan setelah ia menjadi taipan Hong Kong terkenal, dan jelas bukan saat kerajaan medianya melawan Beijing.
Bagi Lai, Hong Kong adalah segala sesuatu yang bukan Tiongkok — sangat kapitalis, tanah peluang dan kekayaan tak terbatas, serta bebas. Di kota itu, yang masih menjadi koloni Inggris saat ia tiba pada 1959, ia menemukan kesuksesan — dan kemudian, sebuah suara.
Apple Daily menjadi salah satu surat kabar terlaris hampir seketika setelah debutnya pada 1995. Dimodelkan berdasarkan USA Today, ia merevolusi estetika dan tata letak surat kabar, dan memulai perang harga yang sengit.
Dari panduan memakai jasa pekerja seks di “bagian dewasa” hingga laporan investigasi, hingga kolom oleh ekonom dan novelis, ia adalah “prasmanan” yang menargetkan “seluruh spektrum pembaca,” kata Francis Lee, profesor jurnalisme di Chinese University of Hong Kong.
Mantan editor dan karyawan bercerita tentang dorongan Lai — “Jika kamu berani melakukannya, dia akan berani membiarkanmu melakukannya” — dan amarahnya. Salah seorang mengatakan ia kerap mengumpat.
Mereka menggambarkannya sebagai nonkonformis, dan sebagai seorang visioner yang tidak takut untuk bertaruh pada eksperimen. “Bahkan sebelum iPhone diluncurkan, ia terus berkata telepon genggam akan menjadi masa depan,” kenang salah satu editor surat kabarnya, menambahkan bahwa ia penuh ide. “Rasanya seperti ia meminta kami membuat situs web baru setiap hari.”
Hal yang sama terjadi ketika ia memiliki merek pakaian. “Ia tidak takut mengganggu industri, dan ia tidak takut membuat musuh,” kata Herbert Chow, mantan direktur pemasaran di merek saingan.
Itu adalah pembentuk sekaligus penghancurnya, kata Chow: “Kalau tidak, tak akan ada Apple Daily. Tentu, ia juga tak akan berakhir seperti ini.”
Iklan TV awal untuk Apple Daily menampilkan Lai yang saat itu berusia 48 tahun menggigit buah terlarang sementara puluhan anak panah membidiknya.
Itu menjadi nubuatan yang terwujud dengan sendirinya.
**Jimmylai.substack.com**
Iklan Apple Daily saat diluncurkan pada 1995.
Pelarian dari Tiongkok
Cokelat yang pertama kali ia cicipi itulah yang memanggil Lai ke Hong Kong saat masih bocah.
Setelah membawakan bagasi seorang penumpang di stasiun kereta api di Tiongkok, Lai diberi tip, dan sebatang cokelat. Ia menggigitnya. “Saya tanya dia dari mana. Dia bilang Hong Kong. Saya bilang, ‘Hong Kong pasti surga’ karena saya belum pernah merasakan sesuatu seperti itu,” kata Lai tentang pertemuan itu dalam film dokumenter 2007, *The Call of the Entrepreneur*.
Hidup di Tiongkok Mao Zedong diwarnai gelombang kampanye opresif — untuk mengindustrialisasi Tiongkok dalam semalam, untuk membasmi “musuh kelas” kapitalis. Keluarga Lai, yang dulunya keluarga pengusaha, masuk daftar hitam. Ayahnya melarikan diri ke Hong Kong, meninggalkan mereka. Ibunya dikirim ke kamp kerja paksa.
Bertahun-tahun kemudian, Lai menulis tentang bagaimana ia dan saudara perempuannya akan diseret keluar rumah untuk menyaksikan kerumunan memaksa ibunya berlutut sambil didorong dan diolok-olok — penghinaan publik kejam yang segera menjadi norma. Pertama kalinya, tulis Lai, sangat menakutkan: “Air mataku mengalir deras dan membasahi bajuku. Aku tak berani bergerak. Tubuhku terbakar oleh rasa malu.”
Tidak gentar, neneknya mengakhiri setiap cerita dengan pesan sama: “Kamu harus menjadi pengusaha bahkan jika hanya menjual kacang asin!”
Maka, di usia 12 tahun, ia berangkat ke Hong Kong, termasuk di antara jutaan yang melarikan diri dari daratan — dan pemerintahan Mao yang menghancurkan — selama bertahun-tahun.
Hari ia tiba, di dasar kapal nelayan, bersama sekitar 80 pelancong yang mabuk laut, ia dipekerjakan oleh pabrik sarung tangan. Ia menggambarkan jam kerja panjang sebagai “masa yang sangat bahagia, masa di mana aku tahu aku punya masa depan”. Di sanalah salah satu rekan kerjanya membantunya belajar bahasa Inggris. Bertahun-tahun kemudian, ia akan memberikan wawancara bahkan bersaksi di pengadilan dalam bahasa Inggris yang fasih.
Di awal usia 20-an, ia mengelola pabrik tekstil dan setelah menghasilkan uang di pasar saham, ia memulai usahanya sendiri, Comitex Knitters. Usianya 27 tahun.
**Getty Images**
Jimmy Lai di rumahnya di Hong Kong pada 1993.
Urusan bisnis sering membawa Lai ke New York, dan dalam salah satu perjalanan itu, ia meminjam buku yang kemudian mendefinisikan pandangan dunianya: *The Road to Serfdom* oleh ekonom peraih Nobel Friedrich Hayek, seorang penganjur kapitalisme pasar bebas. “Reaksi spontan orang” dan “pertukaran informasi” telah menciptakan yang terbaik di dunia, adalah kesimpulannya. Baginya, itulah kekuatan Hong Kong.
Buku itu memicu kebiasaan membaca yang rakus. Ia akan membaca buku yang sama berkali-kali, dan membaca setiap buku oleh penulis yang ia kagumi. “Aku ingin mengubah pemikiran penulis menjadi taman belakangku. Aku ingin membeli kebun, bukan memotong bunga,” katanya dalam sebuah wawancara 2009.
Setelah satu dekade di manufaktur, ia “bosan” dan mendirikan rantai pakaian Giordano pada 1981, yang menjadi pelopor fast-fashion. Ia sangat sukses hingga Tadashi Yanai meminta nasihat dari Lai ketika merek Jepangnya Uniqlo membuka toko.
Lai membuka toko di Tiongkok, yang telah mulai membuka diri setelah Mao meninggal. Ia “bersemangat”, Tiongkok “akan berubah, seperti negara Barat,” katanya dalam film dokumenter 2007.
Kemudian pada 1989, Beijing menumpas protes pro-demokrasi di Tiananmen Square: sebuah pencerahan kasar bagi Lai dan Hong Kong, yang ditetapkan akan kembali ke pemerintahan Tiongkok pada 1997 di bawah perjanjian baru antara Tiongkok dan Inggris.
Giordano menjual kaos bergambar foto pemimpin protes Tiananmen dan slogan anti-Beijing, dan memasang spanduk pro-demokrasi di toko-toko di seluruh Hong Kong.
Sejuta orang berdemonstrasi di Hong Kong sebagai solidaritas dengan para mahasiswa pengunjuk rasa di Beijing. Hingga 2020, Hong Kong mengadakan vigil terbesar yang meratapi pembantaian tersebut.
Lai mengatakan kemudian bahwa ia “tidak merasakan apa-apa tentang Tiongkok” sampai saat itu. Ia selalu ingin melupakan bagian hidupnya itu tetapi “tiba-tiba, rasanya seperti ibuku memanggil dalam kegelapan malam”.
**Getty Images**
Lai adalah pengunjung rutin pada vigil tahunan Hong Kong untuk mengenang mereka yang tewas di Tiananmen Square pada 1989.
‘Pilihan Adalah Kebebasan’
Tahun berikutnya Lai meluncurkan majalah bernama *Next*, dan pada 1994 menerbitkan surat terbuka untuk Li Peng, “Jagal Beijing” yang memainkan peran kunci dalam pembantaian Tiananmen. Ia menyebutnya “anak telur kura-kura dengan kecerdasan nol”.
Beijing murka. Antara 1994 dan 1996, toko utama Giordano di Beijing dan 11 waralaba di Shanghai tutup. Lai menjual sahamnya dan mengundurkan diri sebagai ketua.
“Jika saya hanya terus menghasilkan uang, itu tidak berarti apa-apa bagi saya. Tapi jika saya masuk ke bisnis media, maka saya menyampaikan informasi, yang adalah pilihan, dan pilihan adalah kebebasan,” kata Lai dalam film dokumenter 2007.
Ia segera menjadi “partisipan sangat aktif” dalam gerakan pro-demokrasi Hong Kong, bertemu para pemimpin untuk membahas strategi, kata Lee Wing Tat, mantan anggota legislatif dari Partai Demokrat.
Ia menjadi kritikus vokal terhadap CCP, menulis pada 1994: “Saya sepenuhnya menentang Partai Komunis karena saya benci segala sesuatu yang membatasi kebebasan pribadi.” Ia juga mulai menyuarakan kekhawatiran tentang penyerahan Hong Kong yang semakin dekat, dari Inggris ke Tiongkok, pada 1997.
“Setelah lebih dari satu abad pemerintahan kolonial, warga Hong Kong merasa bangga kembali ke pelukan tanah air,” tulisnya. “Tapi haruskah kita mencintai tanah air bahkan jika ia tidak memiliki kebebasan?”
Namun, selama penyerahan kedaulatan, pemimpin Tiongkok saat itu Jiang Zemin berjanji bahwa warga Hongkong akan memerintah Hong Kong dan kota itu akan memiliki otonomi tinggi untuk 50 tahun ke depan.
**Getty Images**
Lai pada protes “Occupy Central” di Admiralty pada Oktober 2014.
Gerakan Payung 2014 yang dipicu oleh penolakan Beijing untuk mengizinkan pemilihan yang sepenuhnya bebas di Hong Kong menjadi titik balik lain bagi Lai.
Pengunjuk rasa menduduki distrik komersial utama kota selama 79 hari. Lai hadir dari pukul 9 pagi hingga 5 sore setiap hari, tak gentar setelah seorang pria melemparkan jeroan hewan kepadanya. “Ketika polisi mulai menembakkan gas air mata, saya bersama Fatty,” kenang mantan anggota legislatif Lee.
Gerakan itu berakhir ketika pengadilan memerintahkan lokasi protes dibersihkan, tetapi pemerintah tidak bergeming. Lima tahun kemudian, pada 2019, Hong Kong kembali meledak, kali ini karena rencana kontroversial yang akan mengizinkan ekstradisi ke Tiongkok daratan.
Apa yang dimulai sebagai pawai damai menjadi semakin keras, mengubah kota menjadi medan pertempuran selama enam bulan. Pengunjuk rasa berbaju hitam melempar batu bata dan bom molotov, menyerbu parlemen dan membakar; polisi anti huru-hara menembakkan gas air mata, peluru karet, meriam air dan tembakan langsung.
Lai berada di garis depan protes dan menjalani 20 bulan penjara karena berpartisipasi dalam empat perkumpulan tak berizin. Seorang pengunjuk rasa mengatakan kepada BBC ia terkejut melihat Lai: “Bagi saya, dia adalah pebisnis sibuk, tapi dia muncul.”
**Getty Images**
Lai pada pawai pro-demokrasi tahun 2019.
Apple Daily memberikan liputan menyeluruh atau, sebagaimana dikritik beberapa pihak, menjadi ruang gema bagi gerakan anti-pemerintah.
Penasihat pemerintah Ronny Tong mengatakan Lai “instrumental” dalam protes karena Apple Daily membawa slogan “sepenuhnya salah” — anti-ekstradisi ke Tiongkok — yang “menangkap imajinasi orang-orang yang ingin menyebabkan kekacauan di Hong Kong”.
Apakah Apple Daily memainkan peran hasutan, dan seberapa besar kendali Lai atas posisinya, menjadi inti dari persidangan keaman