PTSD, Kecemasan, dan Depresi Lebih Tinggi pada Anak Pengungsi
Sameer bercerita pada Al Jazeera, “Adegan-adegan yang kusaksikan dulu sangat berpengaruh buruk padaku, bahkan sampai sekarang jika kuingat, itu [membuat] ku sedih.”
Penelitian terhadap anak pengungsi menemukan bahwa prevalensi gangguan emosional umumnya lebih tinggi dibandingkan anak non-pengungsi.
Menurut satu studi, prevalensi gangguan stres pasca-trauma (PTSD) pada anak pengungsi mencapai 23 persen (satu dari empat), gangguan kecemasan 16 persen (satu dari enam), dan depresi 14 persen (satu dari tujuh).
“Salah satu hal tentang trauma adalah itu membuatmu terus dalam keadaan siaga tinggi,” kata Trickey. “Dan aku rasa mereka tanpa status pengungsi, mereka hidup dalam ketakutan konstan akan dikembalikan ke tempat yang mereka lari.”
Tapi tidak semua anak mengalami trauma dengan cara yang sama, tambah Trickey.
“Faktor risiko yang lebih penting, prediktor PTSD, bukan seberapa besar peristiwanya, tapi bagaimana kamu memahaminya. Apakah kamu takut? Apakah kamu pikir seseorang akan mati?”
“Dan anak-anak berbeda akan merasa takut pada hal yang berbeda. Ada yang mengalami hal paling buruk tapi tampak tak terganggu, dan mereka baik-baik saja. Ada juga yang tampak baik, tapi sebenarnya memilik kerentanan laten. Dan di kemudian hari, saat itulah masalah muncul.”
Ventevogel menjelaskan pada Al Jazeera bahwa pada anak kecil, masalah sering terlihat dari sikap menarik diri, karena mereka belum bisa mengungkapkan perasaannya, misalnya saat “seorang anak menutup diri, berhenti bermain dengan teman-temannya, atau memperlihatkan masalah melalui cara mereka bermain.”
“Ini bukan diagnosa, tapi bisa jadi tanda ada sesuatu yang lebih dalam,” kata Ventevogel.
Trickey bercerita, dalam sesi terapi berfokus trauma, seorang anak yang ia tangani menggambarkan otaknya seperti tempat sampah penuh “kertas-kertas kusut” yang melambangkan “semua hal buruk” yang ia alami.
“Dan saat aku berjalan ke sekolah, mereka berjatuhan di depan mataku. Saat aku tidur, mereka masuk ke dalam mimpiku,” kata anak itu. “Tapi saat aku bertemu kamu, kita mengeluarkannya dari tempat sampah, membuka lipatannya, membacanya perlahan, lalu melipatnya rapi dan mengembalikannya. Karena sudah rapi, mereka tak berjatuhan lagi, dan ada lebih banyak ruang di kepalaku untuk memikirkan hal lain.”
Bagi Sameer, kemampuannya bertahan bergantung pada pola pikirnya. “Seiring waktu, aku mulai terbiasa dengan situasi dan sekarang merasa percaya diri. Aku berharap, apapun masalah atau kesulitan di masa depan, aku bisa mengatasinya dan semuanya akan kembali normal.”