Kerja Sama Ekonomi DRC dan Rwanda: Fokus pada Energi dan Rantai Pasok Mineral
Negara-negara tetangga telah menyetujui syarat-syarat kerja sama ekonomi di berbagai bidang, termasuk energi dan rantai pasok mineral.
Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Rwanda sepakat atas kerangka kerja sama ekonomi di beberapa sektor, sebagai bagian dari upaya memenuhi perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada Juni lalu.
Prinsip-prinsip yang disepakati pada Jumat merangkum kerangka integrasi ekonomi regional, mencakup kerja sama di bidang energi, infrastruktur, rantai pasok mineral, taman nasional, dan kesehatan masyarakat, menurut Departemen Luar Negeri AS yang memediasi kesepakatan ini.
Sumber yang mengetahui masalah ini menyatakan bahwa draf awal kerangka kerja telah disetujui dan kini akan ada periode masukan untuk mendapat tanggapan dari sektor swasta serta masyarakat sipil sebelum finalisasi, seperti dilaporkan Reuters.
Dalam pernyataan resmi, Rwanda dan DRC menegaskan bahwa masing-masing negara memiliki "kendali penuh dan berdaulat" atas eksploitasi, pengolahan, dan ekspor sumber daya alamnya. Kedua pihak juga mengakui pentingnya mengembangkan kapasitas pengolahan mineral di dalam negeri.
DRC memandang penjarahan kekayaan mineralnya sebagai salah satu pemicu konflik antara pasukannya dan pemberontak M23 yang didukung Rwanda di timur negara itu. Konflik ini telah menewaskan ribuan orang.
‘Kesepakatan Mineral Lebih Dulu’
Perjanjian yang ditandatangani di Washington, DC, pada 27 Juni bertujuan menarik investasi Barat ke wilayah kaya tantalum, emas, kobalt, tembaga, litium, dan mineral lain. Menurut Human Rights Watch, ini adalah "kesepakatan mineral lebih dulu, peluang perdamaian nomor dua," menghubungkan integrasi ekonomi dengan janji miliaran dolar investasi.
Kedua negara juga berkomitmen memastikan perdagangan mineral tidak lagi mendanai kelompok bersenjata dan membangun sektor pertambangan industri kelas dunia. Kesepakatan ini juga akan meningkatkan interoperabilitas lintas batas dalam rantai pasok mineral.
Mereka juga sepakat menghubungkan infrastruktur baru dengan Koridor Lobito yang didukung AS, menegaskan tujuan Washington untuk mengamankan akses lebih besar ke sumber daya di kawasan ini serta upaya menyaingi pengaruh China.
Proyek hidroelektrik Ruzizi III dan eksploitasi metana Danau Kivu adalah satu-satunya proyek spesifik yang disebutkan dalam pernyataan itu, meskipun AS menekankan pentingnya mineral kritis. Kedua negara berencana memprioritaskan pendanaan Ruzizi dan bekerja sama mengeksplorasi gas metana secara berkelanjutan.
Pengumuman Jumat ini muncul setelah kedua negara menggelar pertemuan pertama komite pengawas bersama pada Kamis sebagai langkah implementasi perjanjian, meski komitmen lain belum terpenuhi.
Dalam perjanjian Washington, kedua negara berjanji menjalankan kesepakatan 2024 yang mewajibkan pasukan Rwanda menarik diri dari timur DRC dalam 90 hari.
Operasi militer Kongo terhadap Forces Démocratiques de Libération du Rwanda (FDLR)—kelompok bersenjata yang mencakup sisa-sisa mantan tentara Rwanda dan milisi pelaku genosida 1994—juga harus selesai dalam jangka waktu yang sama.
Perjanjian itu juga menyatakan DRC dan Rwanda akan membentuk mekanisme koordinasi keamanan bersama dalam 30 hari serta menerapkan rencana pemantauan penarikan pasukan Rwanda dalam tiga bulan. Namun, 30 hari sejak penandatanganan telah berlalu tanpa pertemuan mekanisme tersebut.
Sumber terkait menyatakan pertemuan mekanisme koordinasi keamanan akan digelar pada 7 Agustus di Addis Ababa.
DRC juga terlibat dalam perundingan langsung dengan M23 yang difasilitasi Qatar. Bulan lalu, kedua pihak berjanji menandatangani perjanjian perdamaian terpisah sebelum 18 Agustus, meski banyak detail masih perlu dibahas.