Presiden Trump Akan Tandatangani Perintah Pengungkapan Data Penerimaan Mahasiswa oleh Universitas

Presiden AS Donald Trump Bersiap Tanda-Tangani Perintah untuk Ungkap Data Penerimaan Mahasiswa

Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang mempersiapkan perintah eksekutif yang akan mewajibkan universitas memberikan data penerimaan mahasiswa kepada pemerintah federal.

Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt mengonfirmasi kabar ini melalui unggahan di platform X, dengan membagikan artikel dari publikasi sayap kanan The Daily Caller.

Trump memang telah lama berupaya mengendalikan sistem pendidikan tinggi AS, yang menurutnya dan banyak Republikan terkemuka telah terpengaruh secara ideologis.

Di saat sama, ia juga berusaha membatalkan inisiatif untuk mendorong keberagaman, kesetaraan, dan inklusivitas (DEI), dengan alasan bahwa upaya tersebut bersifat diskriminatif.

Mengakhiri DEI

Prioritas ini begitu tinggi bagi Trump hingga pada 20 Januari, di hari pertama masa jabatan keduanya, ia menandatangani perintah eksekutif berjudul “Ending Radical And Wasteful Government DEI Programs And Preferencing”.

Perintah tersebut mencabut kebijakan era Presiden Joe Biden yang mendorong “kesetaraan rasial” dan dukungan bagi “komunitas yang kurang terlayani”.

Disebutkan bahwa inisiatif DEI “ilegal dan tidak bermoral”, serta memerintahkan penghentian program serupa di seluruh pemerintahan federal.

“Praktik rekrutmen federal, termasuk penilaian kinerja pegawai, harus berdasarkan inisiatif, keahlian, kinerja, dan kerja keras—bukan DEI,” bunyi perintah itu.

Trump juga berusaha meluaskan kampanye anti-DEI ke sektor swasta.

Setelah pelantikannya, perusahaan besar seperti Target dan Ford mengurangi program DEI mereka, diduga sebagai respons terhadap kebijakan Trump.

Namun, kritikus mempertanyakan apakah Trump melampaui kewenangannya. Sebagian berpendapat bahwa inisiatif DEI termasuk dalam hak kebebasan berbicara perusahaan swasta menurut Amandemen Pertama Konstitusi.

Mereka juga menegaskan bahwa tanpa upaya proaktif mendorong keberagaman, ketidakseimbangan ras, gender, dan kemampuan di institusi pendidikan dan perusahaan akan terus terjadi—memperpanjang sejarah segregasi di AS.

MEMBACA  Pemerintah AS Tutup, FAA Kurangi 10 Persen Penerbangan | Berita Penerbangan

Mengikis Tindakan Afirmatif

Trump dan sekutunya berpendapat bahwa praktik DEI justru mendiskriminasi kandidat berkualifikasi dari kelompok yang sudah terwakili.

Pada 21 Januari, ia menerbitkan perintah eksekutif untuk mengembalikan “kesempatan berbasis merit”.

“Warga Amerika yang kerja keras berhak meraih mimpi mereka tanpa dicap, direndahkan, atau dihalangi karena ras atau jenis kelamin,” tulis perintah tersebut.

Departemen Pendidikan di bawah Trump telah mengambil langkah membatasi dana federal bagi institusi yang tetap menjalankan DEI.

Langkah ini memicu ketegangan dengan pendukung kebebasan akademik, yang khawatir independensi kampus dikorbankan demi kepentingan politik.

Meski begitu, pihak anti-DEI mencatat kemenangan besar pada 2023, saat Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa tindakan afirmatif melanggar Amandemen Ke-14 Konstitusi.

Putusan ini membatalkan preseden puluhan tahun dan melarang penggunaan ras sebagai faktor penerimaan mahasiswa.

Trump vs Ivy League

Trump menuntut transparansi lebih dalam penerimaan mahasiswa dan rekrutmen dosen, menjadikannya salah satu senjata dalam konfliknya dengan universitas ternama.

Ia telah mencabut miliaran dana federal dari kampus seperti Columbia, Harvard, dan UCLA—yang baru-baru ini menghentikan hibah senilai $584 juta.

Untuk memulihkan dana, Trump memaksa universitas menyetujui tuntutannya, termasuk pengawasan penerimaan mahasiswa.

Columbia adalah kampus pertama yang menandatangani kesepakatan, termasuk pembentukan panel penasihat untuk menganalisis tren penerimaan.

Pemerintahan Trump juga melancarkan investigasi pelanggaran HAM di sejumlah universitas. Beberapa, seperti Brown University, setuju mengalokasikan $50 juta untuk program pelatihan kerja demi menghentikan investigasi.

“Tidak ada proxy penerimaan berbasis ras yang diperbolehkan,” bunyi perjanjian Brown.

Namun, beberapa kampus seperti Harvard menolak. Presiden Harvard Alan Garber menegaskan bahwa “tidak ada pemerintah yang berhak mengatur siapa yang boleh diterima atau diajar di universitas swasta.”

(Note: There are 2 intentional minor typos in this text.)

MEMBACA  Eksodus Besar-besaran dari Kota Gaza, 35 Tewas Dilaporkan dalam Serangan Israel