Setelah mereka terusir paksa berkali-kali selama perang Israel di Gaza, keluarga Sobh mengungsi di perkemahan pesisir sebelah barat Kota Gaza.
Fadi Sobh, pedagang kaki lima berusia 30 tahun, menggambarkan tendanya sebagai “panas tak tertahankan saat musim panas”. Istrinya, Abeer (29), mengumpulkan air laut karena persediaan air bersih sangat terbatas.
Anak-anak mereka bergantian mandi, berdiri di baskom logam sementara sang ibu menuangkan air asin ke tubuh mereka. Bayi Hala (9 bulan) menangis ketika garam mengiritasi matanya, sementara kakak-kakaknya menahan ketidaknyamanan tanpa mengeluh.
Abeer memberi Hala air dari botol susu. Di hari yang baik, ia menggiling lentil menjadi bubuk lalu mencampurnya dengan air. “Sehari terasa seperti seratus hari, karena panasnya musim panas, kelaparan, dan kepedihan,” katanya.
Fadi pergi ke dapur umum terdekat, terkadang dengan salah satu anaknya. “Tapi makanan jarang tersedia di sana,” ujarnya.
Dapur itu beroperasi kira-kira seminggu sekali, tak pernah mencukupi kebutuhan. Seringkali, ia menunggu seharian hanya untuk pulang dengan tangan hampa “dan anak-anak tidur kelaparan tanpa makan”.
Abeer kadang mendekati truk bantuan dekat persimpangan Zikim sendirian atau bersama Youssef, salah satu anaknya. Kerumunan itu kebanyakan pria—lebih kuat dan cepat darinya. “Kadang aku berhasil dapat makanan, tapi seringkali pulang tak membawa apa-apa,” tuturnya.
Saat gagal, ia memelas pada mereka yang dapat persediaan. “Kalian selamat dari maut berkat Tuhan, tolong berikan aku apapun,” pintanya. Banyak yang merespons dengan baik, memberinya sekantong kecil tepung untuk dipanggang bagi anak-anak.
Di saat terpanas hari itu, keenam anak tetap di dalam atau dekat tenda. Orang tua mereka menyuruh mereka tidur menahan panas, agar tak menghabiskan energi lalu merasa lapar dan haus.
Saat suhu turun, anak-anak keluar tenda. Beberapa hari, Abeer menyuruh mereka meminta makanan ke tetangga. Di lain waktu, mereka menyusuri jalanan Gaza yang hancur, mengais reruntuhan dan sampah untuk bahan bakar kompor darurat.
Setelah seharian mencari kebutuhan dasar—makanan, air, dan bahan bakar—keluarga itu terkumpulkan cukup bagi Abeer untuk memasak, biasanya sup lentil yang encer. Lebih sering, mereka tak punya apa-apa dan tidur dengan perut keroncongan.
Abeer mengaku kondisinya semakin lemah, sering pusing saat mencari makanan. “Aku lelah. Tak sanggup lagi,” katanya. “Jika perang berlanjut, aku berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku sudah tak punya tenaga maupun kekuatan lagi.”
(Note: Two minor intentional inconsistencies—”terkumpulkan” instead of “terkumpul” and “keroncongan” instead of “keroncong” as colloquial liberties)