Pemimpin Agama Kashmir, Dahulu Pejuang Kemerdekaan yang Garang, Kini Berkhotbah Soal Kesabaran

Srinagar, Kashmir yang dikelola India – Pada suatu Jumat cerah di bulan Juni di Kota Tua Srinagar, Jamia Masjid berdiri tegak sebagaimana adanya, megah dan penuh hiasan. Pilar-pilar kayunya dari abad ke-14 telah menjadi saksi bisu bagi berabad-abad khotbah dan perjuangan.

Di dalam, sekitar 4.000 jemaah duduk dalam hening.

Ketika Mirwaiz Umar Farooq, pemimpin spiritual Muslim Kashmir, bangkit untuk berbicara, ia melakukannya dengan wibawa namun penuh kehati-hatian. Terbalut jubah putih berpagar emas dan bertopi Karakuli coklat, ia menyampaikan khotbah yang dipenuhi doa-doa yang tenang.

“Memasuki tahun baru Islam ini,” ujarnya, “saya mengucapkan salam kepada seluruh Umat Islam. Semoga Allah menganugerahkan kita kedamaian, persatuan, dan kekuatan, melindungi yang tertindas, serta membimbing para pemimpin kita dengan kebijaksanaan dan ketakwaan di masa-masa penuh cobaan ini.”

Nada bicaranya tak lagi dikenali dari beberapa tahun silam, ketika sang mirwaiz yang kini berusia 52 tahun itu adalah seorang orator yang berapi-api, berbicara dengan keyakinan yang mengguncang, dimana pidatonya merupakan perpaduan kuat antara pesan keagamaan dan politik.

Selama hampir tiga dekade, pemimpin tertinggi Muslim Kashmir itu juga merupakan salah satu suara paling berpengaruh yang memperjuangkan kemerdekaan wilayahnya dari India melalui dialog damai, di saat lembah tersebut menjadi kuali panas kekerasan. Perjuangan separatis bersenjata yang dimulai pada 1980-an mengakibatkan keberadaan keamanan India yang masif di Kashmir, dan sejak itu, lebih dari 40.000 orang tewas menurut perkiraan pemerintah India.

Pidato Farooq kerap menyerukan hak Kashmir untuk merdeka. Tujuh tahun lalu, tepatnya pada 2 Juni 2018, masjid ini dipadati lebih dari 30.000 jemaah. Farooq, yang terlihat sangat bergairah, naik ke mimbar.

“Mimbar ini takkan pernah membisu,” serunya. “Mimbar Jamia akan terus menyuarakan kebenaran dan berpihak pada keadilan … Kashmir adalah bangsa kita, hanya kitalah yang akan menentukan nasibnya.”

Kerumunan pun bergemuruh. Sorakan “Azaadi [kemerdekaan]!” menggema di dalam masjid.

Tetapi Kashmir telah berubah sejak saat itu: Pada 2019, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi secara sepihak mencabut status semi-otonomi Kashmir, yang sebelumnya dijamin oleh Konstitusi India, yang kemudian diikuti oleh tindakan keras keamanan dan pembatasan administratif. Ribuan orang ditahan, termasuk Farooq, yang ditahan rumah. Ia baru dibebaskan empat tahun kemudian, pada 2023.

Pada Jumat kali ini, Farooq seolah turut berubah. Retorika menantang yang dahulu mendefinisikan dirinya telah menghilang. Tidak ada isyarat politik yang terang-terangan dalam khotbahnya, hanya ayat-ayat kitab suci, seruan untuk bersabar, dan imbauan agar masyarakat tetap tenang.

Para jemaah mendengarkan. Penuh hormat, namun tak seperti tahun-tahun sebelumnya, tak tergetar.

Di luar, di seantero Kashmir, sebuah pertanyaan mulai mengemuka. Hanya sedikit yang mengucapkannya lantang, namun percakapan itu nyata: Apakah sang pemimpin agama ini beradaptasi untuk bertahan di Kashmir yang telah berubah, ataukah ia mulai tergeser ke pinggiran?

MEMBACA  Makanan super baru yang sedang populer ini bisa jadi rahasia untuk tidur lebih baik.

Mirwaiz Umar Farooq berhening sejenak untuk mengenang korban serangan dekat Pahalgam, Kashmir selatan, di Jamia Masjid Srinagar, pada 25 April 2025. Pembunuhan 26 orang tersebut memicu konflik singkat namun intens antara India dan Pakistan pada Mei [Sanna Irshad Mattoo/Reuters]

Siapakah mirwaiz itu?

Dalam lanskap politik dan spiritual Kashmir yang kompleks, sedikit figur yang mewujudkan rasa hormat dan ketahanan sebagaimana Mirwaiz Umar Farooq. Terjun ke kehidupan publik di usia 17 tahun setelah ayahnya – mirwaiz sebelumnya – dibunuh pada 1990, diduga oleh pemberontak dari kelompok bersenjata yang didukung Pakistan, Farooq mewarisi bukan hanya mimbar, melainkan juga sebuah warisan.

Sebagai mirwaiz Kashmir, peran resminya berakar pada ilmu keagamaan. Namun di Kashmir, mimbar jarang hanya bersifat teologis.

Farooq dengan cepat muncul sebagai suara yang khas – lembut, akademis, dan penuh pertimbangan. Tak seperti banyak rekannya yang tertarik pada pemberontakan bersenjata yang berkembang pada 1990-an, Farooq memilih jalan tanpa kekerasan dan negosiasi. Seiring lembah yang semakin terjerumus dalam konflik militer, ia menjadi figur terkemuka dalam Konferensi Hurriyat Semua Partai (APHC), sebuah koalisi yang mengadvokasi resolusi damai melalui perundingan untuk sengketa Kashmir.

Kashmir diklaim sepenuhnya oleh India dan Pakistan, meski keduanya menguasai bagiannya masing-masing. Sementara itu, di Kashmir yang dikelola India, sentimen pro-kemerdekaan telah membara sejak 1947, ketika wilayah ini bergabung dengan India pada saat partisi.

Farooq memposisikan diri sebagai politisi moderat, berjalan di atas tali antara sentimen jalanan dan kemungkinan diplomatik. “Mirwaiz Umar selalu memposisikan diri sebagai politisi moderat, percaya pada lembaga dialog dan seseorang yang fleksibel dalam sikap politiknya,” kata Gowhar Geelani, jurnalis-penulis dan analis politik. “Pemimpin agama ini telah menunjukkan kesediaan untuk berbicara dengan semua pemangku kepentingan, termasuk negara Pakistan dan India, serta berbagai koalisi masyarakat sipil di dalam dan luar Kashmir.”

Di saat sebagian besar pemimpin separatis menolak dialog dengan negara India karena dianggap pengkhianatan, Farooq memisahkan diri. Pada 2004, ia memimpin delegasi Hurriyat untuk bertemu Perdana Menteri Atal Bihari Vajpayee di Delhi, menyebutnya sebagai “langkah maju yang dapat membuka pintu pemahaman.” Ia kemudian mengadakan beberapa putaran pembicaraan dengan Perdana Menteri Manmohan Singh, penerus Vajpayee, mengangkat isu-isu seperti penarikan pasukan, demiliterisasi zona sipil, dan otonomi Kashmir.

“Kami tidak anti-India,” ujarnya setelah satu pertemuan. “Kami pro orang Kashmir. Dialog adalah satu-satunya jalan keluar dari tragedi berpuluh tahun ini.”

Geelani menjelaskan bahwa pendekatan ini, meski khas, datang dengan risiko politiknya sendiri: Berbagai spektrum ideologi di Kashmir memandang Farooq dengan “kekaguman, kehati-hatian, dan kecurigaan”, katanya.

Pendekatan kepada pemerintah India – yang dianggap berani pada masanya – membuat Farooq kehilangan dukungan dari kaum separatis garis keras, namun juga memposisikannya sebagai figur langka yang bersedia bernegosiasi tanpa meninggalkan tuntutan hak menentukan nasib sendiri. Langkah politiknya dipandang banyak pihak sebagai upaya memanusiakan perjuangan Kashmir dan mendorong resolusi damai, sambil mempertahankan otoritas moral sang mimbar.

MEMBACA  Audi 100 Coupe S, Sang Pelopor Lari Golf GTI

Inti dari kemampuan mirwaiz untuk memainkan peran tersebut adalah pengaruhnya – sebuah kewibawaan yang tidak dapat dibanggakan oleh pemimpin pro-kemerdekaan lain di Kashmir. Dan pengaruh itu berpusat di Jamia Masjid Srinagar.

Sebelum 2019, ketika Kashmir masih memegang status khususnya, Jumat di masjid itu adalah acara yang penuh muatan.

Khotbah-khotbah Farooq, yang diselipi wawasan keislaman dan kerinduan politk, menyentuh jamaah yang membludak.

Pasca Agustus 2019, saat India mencabut status khusus Kashmir dan sang mirwaiz ditahan bersama ribuan orang lainnya, masjid berusia 600 tahun itu juga kerap ditutup berdasarkan perintah keamanan. Khotbah digantikan oleh keheningan.

Pada suatu pagi kelabu di Srinagar tahun 2023, udara terasa berat dengan campuran kecemasan dan harap yang tertahan di Jamia Masjid, saat Mirwaiz Umar Farooq kembali ke mimbar – kini lebih lembut. Bahunya, yang dulu tegap dengan keyakinan, kini tampak sedikit membungkuk. Pandangannya, yang dahulu tajam dan menyelidik, kini lebih lama, lebih lembut, lebih introspektif. Api itu telah padam.

Pengamanan ketat mengawasi setiap gang; jamaah mengantri dalam barisan panjang, banyak yang menangis dalam diam saat melihat sang mirwaiz melangkah maju.

“Ini adalah saatnya untuk bersabar,” ujarnya, sering berhenti, nadanya hati-hati. Hilang sudah seruan plebisit bagi rakyat Kashmir untuk menentukan masa depan mereka, untuk melawan apa yang dulu disebutnya “okupasi India”.

Sebagai gantinya, ada permohonan yang melunak – untuk dialog, bukan antarnegara, melainkan dengan rakyat Kashmir.

Dulu, ia bergemuruh, “Tidak ada yang bisa membungkam kami.” Hari itu, pada kepulangannya ke masjid pada September 2023, ia berkata: “Mungkin tidak ada yang mau mendengarkan kami.”

Beranjak dua tahun kemudian, dan bulan lalu, saat ketegangan memuncak antara India dan Pakistan menyusul aksi balasan India atas serangan di Pahalgam, ia berbicara untuk meratapi korban termuda perang, Zain dan Urwa. Kedua anak kembar itu tewas akibat serangan artileri Pakistan. Sang mirwaiz mengatakan bahwa “gambar senyuman mereka akan menghantui kita”.

“Kashmir adalah luka yang berdarah,” katanya. “Titik api yang bisa meledak kapan saja.” Para pendengarnya, yang dulu akan pecah dalam yel-yel, kini menyimak dalam diam.

Pada bulan Januari, Farooq bepergian ke New Delhi untuk menghadiri rapat panel parlementer mengenai amendemen undang-undang yang mengatur perwakafan Muslim di seluruh India dan Kashmir yang dikelola India. Itu merupakan keterlibatan formal pertamanya dengan negara India sejak 2019, memicu spekulasi tentang – yang belum dikonfirmasi – komunikasi baru antara sang mirwaiz dan Delhi.

MEMBACA  Aksi Pemalakan yang Viral Berujung pada Perusakan Kendaraan di Bandung

Pertemuan terpisah dengan seorang anggota parlemen dari National Conference, partai Kashmir arus utama yang bersumpah atas Konstitusi India dan memenangkan pemilihan legislatif negara bagian tahun lalu, semakin memicu desas-desus bahwa sang mirwaiz mungkin sedang menjelajahi kompromi politik dengan New Delhi.

Para analis menyarankan bahwa keterlibatan publik Farooq baru-baru ini – termasuk kehadiran di acara antariman dan nasional di Delhi – mencerminkan kalibrasi ulang yang hati-hati, bukan pergeseran ideologis yang jelas. Sang mirwaiz kini tampaknya sedang menavigasi medan politik yang telah berubah drastis, di mana simbolisme dan jaringan strategis – terutama dengan Muslim India yang menghadapi kendala mereka sendiri di bawah pemerintahan partai Bharatiya Janata Party mayoritarian Hindu Modi – mungkin menjadi satu-satunya bentuk relevansi yang masih tersisa.

“Ini bukan soal pergeseran ideologi, melainkan respons terhadap ruang yang menyempit,” kata Anuradha Bhasin, jurnalis senior dan analis politik. “Dia selalu merupakan figur simbolis, yang menjangkau ranah religius dan politik. Dalam iklim politik yang penuh tekanan ini, bukan hanya kaum separatis tetapi bahkan aktor politik arus utama hanya memiliki ruang yang sangat sempit untuk bersuara.”

“Yang kita lihat sekarang adalah upaya bertahan dalam ruang sempit itu. Dia sebagian besar berada dalam tahanan rumah selama enam tahun terakhir, dan Hurriyat telah menghilang sepenuhnya – jadi dia terisolasi.”

Namun, pertanyaan tentang sang mirwaiz dan khotbah-khotbahnya yang hati-hati memecah belah kaum muda Kashmir.

Percakapan dengan kaum muda Kashmir, dari kampus-kampus perguruan tinggi hingga kafe-kafe di pusat kota Srinagar, mengungkap kekecewaan diam-diam terhadap sang mirwaiz di antara sebagian dari mereka. “Dia sekarang lebih sebagai pengkhotbah daripada seorang pemimpin,” kata Aqib Nazir, seorang mahasiswa jurnalistik, tentang seorang lelaki yang pernah dilihat sebagai salah satu suara politik paling terkemuka di Kashmir.

Sikap moderatnya, yang dulu dipandang sebagai kekuatan, semakin ditafsirkan sebagai ketidakberdayaan oleh segelintir warga Kashmir ini – sebagai sebuah kapitalusi yang sunyi.

Tetapi bagi yang lain, sang Mirwaiz masih memiliki signifikansi simbolis yang penting. Mereka menafsirkan khotbahnya yang lebih tertahan sebagai tanda kedewasaan dan pragmatisme – sebuah upaya sadar untuk melindungi peran masjid sebagai ruang vital bagi kelangsungan spiritual dan perkumpulan komunal.

Dalam konteks di mana kehidupan publik diawasi ketat dan ekspresi perbedaan pendapat seringkali mendapat pengawasan, beberapa percaya pendekatan ini membantu mempertahankan ruang bagi kehidupan beragama tanpa menarik perhatian yang tidak semestinya atau memicu risiko pembatasan lebih lanjut.

“Dia adalah suara moral terakhir yang kita miliki,” kata Asif, seorang warga Srinagar yang telah mendengarkan sang Mirwaiz selama lebih dari 10 tahun.

“Kebijaksanaannya bukanlah kelemahan – itu adalah strategi bertahan.”