Pembubaran "The Late Show" Mengungkap Dampak Monopoli yang Menghancurkan Media AS | Donald Trump

Pembatalan CBS terhadap acara populer The Late Show with Stephen Colbert baru-baru ini adalah contoh lain dari campur tangan politik dan korporasi yang kasar dalam peran media di AS. Ini terjadi hanya tiga hari setelah komedian dan pembawa acara tersebut mengkritik perusahaan induk CBS, Paramount, karena menyelesaikan gugatan bernilai jutaan dolar dengan Trump. Colbert menyebut penyelesaian itu sebagai "suap".

Dalam pengumumannya, CBS menyatakan akan mengakhiri The Late Show setelah Mei 2026 karena penurunan pemirsa, menandai berakhirnya 33 tahun tayangan acara dengan penonton langsung ini.

Namun, terlepas dari peringkat Nielsen yang menurun, waktu Paramount memutuskan membatalkan salah satu acara andalannya mungkin menunjukkan bahwa keputusan ini bukan sekadar soal untung. Tak bisa diabaikan bahwa dalam beberapa hari setelah dua langkah ini, Federal Communications Commission (FCC) akhirnya menyetujui merger Skydance-Paramount setelah berbulan-bulan tertunda—sebuah kesepakatan senilai $8 miliar yang akan menambah daftar langkah monopoli di media AS.

"Ini kemurnian pengecut," ujar David Letterman, pembawa acara The Late Show sebelumnya (1993–2015), menanggapi keputusan Paramount untuk membatalkan acara ini dan menyelesaikan gugatan Trump.

Liputan media berita AS yang tak henti-hentinya membahas segala hal tentang Trump selama satu dekade terakhir serta pergulatan politik, kebijakan, dan praktiknya telah berperan besar dalam kemunduran industri ini. Sementara AS kian mendekati otokrasi, Fourth Estate (pers) semakin berperan sebagai sekretaris belaka, dengan menormalisasi kebohongan, gosip, kebijakan pengecut, dan korupsi sebagai "disinformasi" dan "misinformasi".

Namun, era Trump hanyalah puncak gunung es. Kombinasi penyesuaian terus-menerus untuk memanjakan korporasi media dengan kelas politik, ditambah monopoli media di AS selama 45 tahun terakhir, telah menghancurkan lapangan ini. Penghematan ini sangat memiringkan liputan berita dan menghancurkan gagasan pers bebas.

MEMBACA  Wakil Presiden Guinea Khatulistiwa Membuat Peringatan tentang Seks di Kantor setelah Video Viral

Lanskap media AS mulai berubah seiring deregulasi kepemilikan media dan kebebasan editorial pada 1980-an. Setelah 40 tahun Fairness Doctrine (kewajiban penyiaran untuk menyajikan pandangan berseberangan dalam isu penting nasional), FCC menghapus aturan itu pada 1987, setelah Kongres gagal mengesahkan veto Presiden Reagan terhadap upaya mereka mengkodifikasi doktrin tersebut. Upaya menghidupkan kembali Fairness Doctrine selalu gagal, termasuk RUU yang diusulkan oleh Tulsi Gabbard pada 2019.

Di tahun 1990-an, sebagian besar regulasi yang melindungi media AS dari monopoli dan pengaruh miliarder serta korporasi raksasa dihapus. Telecommunications Act 1996, yang dipengaruhi lobbyist, disahkan dengan dukungan luar biasa—hanya 16 suara menolak di DPR dan 5 di Senat.

Deregulasi yang seharusnya meningkatkan persaingan malah memperluas monopoli media. Antara 1983 dan 2015, jumlah korporasi yang menguasai 90% pasar media AS menyusut dari 50 lebih menjadi hanya enam. Kini, lima megakorporasi—termasuk Viacom-CBS-Paramount dan Amazon—mendominasi 90% media AS.

Rupert Murdoch memainkan peran kunci dalam monopoli media AS. Setelah jadi warga AS (syarat kepemilikan media saat itu), ia membeli New York Post, mendirikan Star, lalu mengakuisisi 20th Century Fox dan stasiun Fox pada 1985. Pada 1996, ia dan Roger Ailes meluncurkan Fox News dengan slogan ironis "Fair and Balanced". Tanpa Fairness Doctrine, Fox News sengaja mengadopsi narasi kanan jauh untuk keuntungan semata. "Orang tidak ingin tahu, mereka ingin merasa tahu," kata Ailes.

Belakangan, miliarder membeli media seperti The Washington Post dan LA Times, membuat warga AS semakin tak percaya pada pers. Monopoli dan tekanan bisnis mengurangi jumlah jurnalis, memiskinkan kualitas berita, dan meningkatkan konten iklan yang memaksa. Ditambah media sosial kini jadi sumber utama berita (54%), tren ini mengkhawatirkan. Tidak ada tanda monopoli dan liputan media bias akan berhenti.

MEMBACA  Salah Satu Seri Gundam yang Paling Diabaikan Akhirnya Tersedia untuk Streaming

Murdoch memanfaatkan deregulasi untuk membangun monopoli dan memulai era jurnalisme tanpa fakta, mengutamakan laba di atas keadilan. Pada akhir 1980-an, acara radio konservatif seperti The Rush Limbaugh Show mendominasi, menyebarkan rasisme, seksisme, dan queerfobia selama 30 tahun.

Meskipun ada upaya progresif seperti Air America di tahun 2000-an, sulit bersaing di dunia media yang kian dimonopoli. MSNBC sempat dianggap "liberal" pada 2010–2016, tapi eksekutifnya membantah menjadi versi kiri Fox News. "Korporasi seperti hiu. Mereka hanya mengejar uang," kata seorang mantan eksekutif. Pada 2016, miliarder Peter Thiel menghancurkan tabloid progresif Gawker karena pernah membocorkan orientasinya.

Jurnalisme yang baik seharusnya seperti cermin—tanpa bias dan berusaha mengungkap kebenaran. Jika itu definisinya, maka jurnalisme AS telah lama memandang cermin retak. Pada 2025, banyak warga AS tidak percaya media, atau hanya percaya berita yang sesuai narasi pribadi. Mereka sadar media sering menyebarkan kebohongan dan gosip demi laba mudah.

Melaporkan penyebaran otokrasi, mengungkap keterlibatan genosida, atau mempertanyakan etika miliarder di dunia media yang dimonopoli? Upaya menegakkan keadilan dan kebenaran bisa mengorbankan karier siapa pun—bahkan seseorang sebesar Stephen Colbert.

Pandangan dalam artikel ini adalah pendapat penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.

(Typos/kesalahan: "kemurnian pengecut" seharusnya "kepengecutan murni", "berita" seharusnya "berita")