Sarah Rainsford
Koresponden Eropa Selatan dan Timur, Roma
Corbis via Getty Images
Aksi protes menentang kekerasan terhadap perempuan telah berlangsung di seantero Italia belakangan ini, kerap dipimpin oleh kelompok feminis Non Una Di Meno (Tak Satu Pun Kurang) – demonstrasi ini berlangsung di Roma pada hari Sabtu.
Para anggota dewan di parlemen Italia telah memberikan suara secara aklamasi untuk memperkenalkan kejahatan femisida – pembunuhan terhadap seorang perempuan yang dimotivasi oleh gender – sebagai undang-undang tersendiri yang akan dihukum dengan hukuman seumur hidup.
Dalam sebuah langkah simbolis, RUU tersebut disetujui pada hari yang didedikasikan untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Gagasan tentang undang-undang mengenai femisida telah dibahas di Italia sebelumnya, tetapi pembunuhan Giulia Cecchettin oleh mantan pacarnya merupakan tragedi yang mengejutkan negara sehingga mengambil tindakan.
Pada akhir November 2023, perempuan berusia 22 tahun itu ditikam sampai mati oleh Filippo Turetta, yang kemudian membungkus tubuhnya dengan tas dan membuangnya di tepi danau.
AFP via Getty Images
Ribuan orang berkumpul di luar gereja tempat pemakaman Giulia Cecchettin digelar untuk memberikan penghormatan pada Desember 2023.
Pembunuhan itu menjadi berita utama hingga pelaku tertangkap, namun respons kuat dari saudara perempuan Giulia, Elena, lah yang terus berkesan.
Sang pembunuh bukanlah monster, katanya, melainkan “anak yang sehat” dari masyarakat yang sangat patriarkal. Kata-kata itulah yang membawa orang banyak turun ke jalan di seluruh Italia menuntut perubahan.
Dua tahun kemudian, para anggota parlemen telah memberikan suara untuk undang-undang tentang femisida setelah sesi parlementer yang panjang dan penuh perdebatan sengit. Hal ini menjadikan Italia salah satu dari sangat sedikit negara yang mengkategorikan femisida sebagai kejahatan yang berbeda.
Diperkenalkan oleh Perdana Menteri Giorgia Meloni, undang-undang ini didukung oleh pemerintah sayap kanan-kerasnya sendiri serta anggota parlemen oposisi. Banyak yang mengenakan pita merah atau jaket merah untuk mengenang para korban kekerasan.
Mulai sekarang, Italia akan mencatat setiap pembunuhan perempuan yang dimotivasi oleh gendernya sebagai femisida.
“Femisida akan diklasifikasikan, akan dipelajari dalam konteksnya yang sebenarnya, mereka akan ada,” kata Hakim Paola di Nicola, salah satu penyusun undang-undang baru tersebut, mengenai signifikansinya.
Dia merupakan bagian dari komisi ahli yang memeriksa 211 pembunuhan perempuan terkini untuk menemukan karakteristik umum, lalu menyusun rancangan undang-undang femisida.
” Mengatakan kejahatan seperti itu bersumber dari cinta yang meluap atau kecemburuan yang kuat adalah distorsi – yang menggunakan istilah-istilah romantis yang dapat diterima secara kultural,” sanggah hakim itu, dikelilingi oleh penelitiannya di rumahnya di Roma.
“Undang-undang ini berarti kita akan menjadi yang pertama di Eropa yang mengungkap motivasi sesungguhnya pelaku, yaitu hierarki dan kekuasaan.”
Italia kini akan bergabung dengan Siprus, Malta, dan Kroasia sebagai negara anggota UE yang telah memperkenalkan definisi hukum femisida ke dalam kitab pidana mereka.
Hakim Paola di Nicola membantu menyusun undang-undang baru tentang femisida, yang pertama di Eropa.
Tidak ada definisi femisida yang disepakati secara global, yang menyulitkan penghitungan dan perbandingan statistik.
Undang-undang Italia akan berlaku untuk pembunuhan yang merupakan “tindakan kebencian, diskriminasi, dominasi, kontrol, atau penaklukan terhadap seorang perempuan karena ia perempuan”, atau yang terjadi ketika dia mengakhiri suatu hubungan atau untuk “membatasi kebebasan individunya.”
Data kepolisian terbaru di Italia menunjukkan sedikit penurunan jumlah perempuan yang dibunuh tahun lalu menjadi 116, dengan 106 di antaranya dikatakan bermotif gender. Ke depannya, kasus seperti itu akan dicatat secara terpisah dan memicu hukuman seumur hidup otomatis, yang dimaksudkan sebagai pencegahan.
Gino Cecchettin tidak yakin undang-undang seperti itu akan menyelamatkan putrinya: pembunuhnya telah dihukum penjara seumur hidup bagaimanapun juga.
Namun dia berpikir bahwa mendefinisikan dan mendiskusikan masalah ini adalah penting.
“Sebelumnya, banyak orang terutama dari tengah dan kanan jauh tidak mau mendengar kata femisida,” kata Cecchettin kepada BBC. “Sekarang ini adalah dunia di mana kita bisa membicarakannya. Itu langkah kecil, tapi itu sebuah langkah.”
Fokusnya sendiri adalah pada pendidikan, bukan legislasi.
Setelah pembunuhan Giulia, ayahnya menggambarkan bahwa dia melakukan “pengamatan sangat intens terhadap apa yang terjadi di sekitar saya” lalu memutuskan untuk membuat sebuah yayasan atas namanya yang dikhususkan untuk mencegah orang lain menderita seperti keluarganya.
“Saya ingin memahami apa yang ada di pikiran [Filippo],” jelas Gino Cecchettin. “Dia adalah seorang pelajar, seorang anak yang dicintai. Seperti pria biasa.”
Apa yang dia temukan, katanya, adalah masyarakat yang penuh stereotip tentang perempuan dan gagasan superioritas laki-laki, serta kaum muda pria yang kesulitan mengelola emosi mereka.
Mantan pacar putrinya telah menikamnya sampai mati dalam serangan yang direncanakan ketika dia menolak untuk kembali bersamanya.
Getty Images
Para pengunjuk rasa berkumpul menyusul kematian Martina Carbonaro berusia 14 tahun yang dibunuh oleh mantan pacarnya pada Mei 2025.
Cecchettin kini berkeliling ke sekolah-sekolah dan universitas di Italia untuk berbicara dengan kaum muda tentang Giulia dan tentang rasa hormat.
“Jika kita memberi mereka alat yang tepat untuk mengatasi hidup mereka, mereka tidak akan bertindak seperti Filippo, mereka mungkin akan bertindak dengan cara yang berbeda. Mereka tidak akan berpegang pada model Superman, atau Macho Man,” demikian harapannya.
Tetapi memasukkan ‘alat’ tersebut ke sekolah-sekolah – dalam bentuk mata pelajaran wajib pendidikan emosional dan seksual – tidaklah mudah. Anggota parlemen sayap kanan jauh menentang segala bentuk pendidikan seks kecuali yang bersifat pilihan untuk anak yang lebih tua. Yayasan Cecchettin menginginkan hal-hal tersebut menjadi wajib dan dimulai sedini mungkin, saat anak muda mulai mengakses internet.
Undang-undang feminisida itu sendiri menuai kritik. Saat rancangan undang-undang pertama kali diajukan awal tahun ini, satu kelompok menyebutnya “bakso beracun”. “Tidak ada kekurangan perlindungan, tidak ada celah hukum yang perlu diisi,” demikian ungkap Profesor Hukum Valeria Torre dari Universitas Foggia. Ia berpendapat definisi baru feminisida terlalu kabur dan akan menyulitkan hakim dalam penerapanya. Selain itu, mengingat sebagian besar perempuan di Italia dibunuh oleh pasangan saat ini atau mantan, membuktikan motif berdasarkan gender akan menjadi tantangan.
“Saya khawatir pemerintah hanya ingin meyakinkan publik bahwa mereka mengambil tindakan untuk masalah ini,” katanya kepada BBC. “Yang benar-benar kita butuhkan adalah upaya ekonomi yang lebih besar untuk mengatasi masalah ketimpangan di Italia.”
Bahkan mereka yang menyetujui legislasi terhadap feminisida sepakat bahwa hal itu harus disertai langkah-langkah yang jauh lebih luas untuk melawan ketidaksetaraan gender.
Masalah Italia di bidang itu saat ini dipamerkan di Museum Patriarki, sebuah pameran baru di Roma yang merangsang pemikiran. Italia saat ini menduduki peringkat ke-85 dalam Indeks Kesetaraan Gender Global, hampir terendah di antara semua negara UE, dengan hanya sedikit di atas separuh perempuan yang bekerja, untuk menyebut satu masalah saja.
“Bagi kami, cara melawan kekerasan terhadap perempuan adalah dengan mencegah kekerasan tersebut, dan untuk mencegah kekerasan kita harus membangun kesetaraan,” papar Fabiana Costantino dari Action Aid Italy, yang menciptakan museum sementara ini untuk membayangkan suatu hari ketika dominasi pria telah menjadi masa lalu.
Karya pameran termasuk pengeras suara yang memutar siulan rayuan dan sebuah ruangan dengan nama-nama perempuan yang dibunuh pria diproyeksikan ke dinding. “Ada banyak bentuk kekerasan – seperti piramida,” kata Fabiana Costantino. “Kita harus menghancurkan dasarnya untuk memusnahkan masalah dalam bentuknya yang paling parah, yaitu feminisida.”
Sidang paripurna yang marathon pada hari Selasa berakhir larut malam di Roma dengan pidato penutup dari seorang anggota parlemen dari partai pemerintah yang bersumpah bahwa kekerasan terhadap perempuan “tidak akan ditoleransi, tidak akan luput dari hukuman.” Undang-undang itu disetujui oleh semua 237 anggota dewan dan disambut dengan gemuruh tepuk tangan.
“Ini menunjukkan bahwa dalam perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan, negara kita memiliki kehendak politik yang bersama,” jelas Hakim Paola di Nicola, sambil mengakui masih ada perjalanan panjang yang harus ditempuh. “Ini menunjukkan bahwa Italia akhirnya membicarakan kekerasan terhadap perempuan yang berakar sangat dalam. Efek pertamanya adalah membuat negara ini mendiskusikan sesuatu yang belum pernah dihadapinya sebelumnya.”
Pelaporan tambahan dari Giulia Tommasi.
Dapatkan buletin andalan kami dengan semua berita utama yang Anda perlukan untuk memulai hari. Daftar di sini.