Bagi jutaan penduduk di India utara, udara November terasa berabu, langit tampak jelas berkabut, dan sekadar melangkah keluar rumah terasa seperti sebuah tantangan.
Bagi banyak orang, rutinitas pagi mereka dimulai dengan memeriksa seberapa buruk kualitas udara. Namun, apa yang mereka lihat sepenuhnya bergantung pada monitor mana yang mereka gunakan.
Aplikasi yang didukung pemerintah seperti SAFAR dan SAMEER berhenti pada angka 500 – batas atas dari skala AQI (indeks kualitas udara) India, yang mengubah data kompleks mengenai berbagai polutan seperti PM2.5, PM10, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, karbon monoksida, dan ozon, menjadi satu angka tunggal.
Namun, pelacak swasta dan internasional seperti IQAir serta platform pemantauan sumber terbuka AQI kerap menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi, seringkali melampaui 600 bahkan menyentuh 1.000 pada hari-hari tertentu.
Kontradiksi ini membuat publik mempertanyakan hal yang sama setiap tahunnya: Angka mana yang harus dipercaya? Dan mengapa India tidak melaporkan kualitas udara di atas 500 secara resmi?
Skala kualitas udara resmi India menunjukkan bahwa pembacaan di atas 200 jelas menimbulkan ketidaknyamanan pernapasan bagi kebanyakan orang jika terpapar secara berkepanjangan.
Pembacaan di atas 400 hingga 500 diklasifikasikan sebagai “parah” dan memengaruhi orang sehat sekaligus secara serius berdampak pada mereka yang memiliki penyakit bawaan.
Namun, skala tersebut tidak melampaui 500 – sebuah batasan yang ditetapkan lebih dari satu dekade lalu ketika Indeks Kualitas Udara Nasional diluncurkan.
Lantas, mengapa ambang batas itu diterapkan?
“Dulu diasumsikan bahwa dampak kesehatannya akan tetap sama tidak peduli seberapa tinggi nilainya naik karena kita telah mencapai titik terburuk,” ujar Gufran Beig, direktur pendiri SAFAR.
Ia mengakui bahwa batas 500 awalnya ditetapkan untuk menghindari kepanikan, karena melampaui angka itu menandakan situasi mengkhawatirkan yang memerlukan mitigasi segera.
Namun, pendekatan ini secara efektif memampatkan data – segala sesuatu di atas 500 diperlakukan sama pada monitor resmi, bahkan jika konsentrasi sebenarnya jauh lebih tinggi.
“Lembaga dan portal internasional tidak menerapkan batasan seperti itu,” kata Beig. “Itulah sebabnya kita melihat angka yang jauh lebih tinggi di platform global.”
BBC telah menghubungi badan pengendalian polusi India untuk mendapatkan komentar.
Di luar ambang batas yang ditetapkan secara artifisial, terdapat pula perbedaan dalam mendefinisikan udara berbahaya.
Sebagai contoh, pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan tingkat PM2.5 – partikel materi lebih kecil dari 2,5 mikrometer – di atas 15 mikrogram per meter kubik dalam periode 24 jam sebagai berbahaya, sementara di India, ambang batasnya adalah 60 mikrogram.
Para ahli menyatakan bahwa secara global, tidak ada rumus AQI yang universal. AS, China, dan Uni Eropa masing-masing menerapkan ambang batas polutannya sendiri.
“WHO menyediakan pedoman dan setiap negara membangun indeksnya berdasarkan kemampuan adaptasi, cuaca, dan lingkungan lokalnya,” jelas Beig. Membandingkan AQI India dengan standar WHO atau AS karenanya dapat menyesatkan.
Kemudian, ada pula perbedaan dalam instrumen yang digunakan.
Badan pengendalian polusi India menggunakan Beta Attenuation Monitors (BAM), yang mengukur massa partikel di udara secara fisik dan dikalibrasi dengan metrik terstandarisasi yang ketat untuk setiap pembacaan.
Sebaliknya, portal seperti IQAir mengandalkan monitor berbasis sensor, ujar Abhijeet Pathak, seorang ilmuwan yang sebelumnya bekerja untuk badan pengendalian polusi India.
Monitor berbasis sensor menggunakan hamburan laser dan metode elektrokimia untuk memperkirakan jumlah partikel yang tersuspensi di udara.
“Sensor merupakan alat yang berbeda dan tidak mungkin untuk mengkalibrasinya setiap kali pengoperasian,” kata Pathak, seraya menambahkan bahwa “pemantauan kualitas udara berbasis sensor belum disetujui oleh pemerintah India.”
Menurut dia, kerangka kerja kualitas udara India belum direvisi secara komprehensif sejak 2009, dan ia bersama para ilmuwan serta aktivis lingkungan lainnya telah menyerukan untuk mengkalibrasi ulang skala tersebut berdasarkan teknologi terbaru.
“Indeks Kualitas Udara Nasional perlu direvisi jika kita ingin memasukkan data berbasis sensor,” tutur Pathak.
Menghapus batas atas juga sangat penting, kata Beig, “mengingat sebagian besar literatur yang tersedia menunjukkan gejala kesehatan terus memburuk seiring dengan meningkatnya tingkat polusi.”
Pada akhirnya, AQI India tidak berhenti di 500 karena polusinya berhenti di sana. Ia berhenti di 500 karena sistemnya dibangun dengan sebuah plafon.