Judul yang sudah diperbaiki dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia: "Ngugi wa Thiong’o Bukan Sekadar Penulis, Ia Juga Seorang Pejuang | Seni & Budaya"

Ngugi wa Thiong’o sangat mencintai tarian. Bahkan lebih dari menulis. Hingga usia 80-an, saat tubuhnya mulai melemah akibat gagal ginjal, ia tetap akan berdiri dan menari hanya dengan membayangkan musik, apalagi mendengarnya. Irama mengalir deras di kakinya seperti kata-kata yang mengalir dari tangannya ke atas kertas.

Begitulah cara aku selalu mengingat Ngugi—menari. Ia meninggal pada 28 Mei di usia 87 tahun, meninggalkan bukan hanya warisan sastra yang layak Nobel, tapi juga kombinasi karya inovatif dan kritik tajam yang orisinal, yang dengan penuh semangat mendorong kita semua—sebagai penulis, aktivis, guru, dan manusia—untuk melawan fondasi kolonial yang masih mengakar di masyarakat kita. Bagiku, ia mendorongku untuk menyusuri Sungai Kakuma hingga ke kamp pengungsi, di mana kebebasan berpikir dan berbicara “dari hati”—sesuatu yang ia sebut sebagai anugerah terbesar menulis—dimungkinkan oleh pertemuan berbagai bahasa dan budaya lokal.

Ngugi sudah lama menjadi bagian penting dalam kanon sastra Afrika dan favorit abadi Nobel saat aku pertama kali bertemu dengannya pada 2005. Setelah mengenalnya, segera kusadari bahwa tulisannya tak terpisahkan dari pengajarannya, yang juga terkait erat dengan komitmen politiknya dan perannya sebagai salah satu intelektual publik paling tangguh di Afrika.

Senyum dan tawa ceria Ngugi menyembunyikan amarah yang mendalam—bekas luka kekerasan pada tubuh dan jiwanya sebagai korban sistem pemerintahan kriminal yang saling terkait, sejak kecil hingga dewasa.

Pembunuhan saudaranya yang tuli oleh tentara Inggris karena tak mendengar perintah berhenti, serta pemberontakan Mau Mau yang memecah belah keluarganya di masa penjajahan, menanamkan dalam dirinya kenyataan bahwa kekerasan dan perpecahan adalah mesin kolonialisme yang terus bekerja, bahkan setelah kemerdekaan.

MEMBACA  Perang Rusia-Ukraina: Daftar peristiwa kunci, hari 874 | Berita Perang Rusia-Ukraina

Lebih dari setengah abad kemudian, tak ada yang lebih menggugah kemarahannya selain membahas momen transisi dari pemerintahan Inggris ke Kenya—fakta bahwa kolonialisme tidak pergi, tapi berakar kuat melalui penguasa baru Kenya.

Sebagai penulis dan dramawan, Ngugi juga menjadi militan yang berjuang menggunakan bahasa untuk menyatukan kembali identitas Afrika—lokal, suku, nasional, dan kosmopolitan—yang dihancurkan oleh “bom budaya” penjajahan Inggris.

Setelah drama pertamanya, *The Black Hermit*, dipentaskan di Kampala tahun 1962, ia segera dianggap sebagai “suara benua”. Dua tahun kemudian, terbit *Weep Not, Child*, novel pertamanya sekaligus novel berbahasa Inggris pertama dari penulis Afrika Timur.

Saat popularitasnya meningkat, Ngugi memutuskan meninggalkan bahasa Inggris dan mulai menulis dalam bahasa Gikuyu-nya.

Kembali ke bahasa ibunya mengubah hidup dan kariernya. Kritiknya yang tajam terhadap pemerintahan pascakolonial dalam bahasa rakyat (bukan Inggris atau Swahili) tak bisa ditoleransi penguasa baru Kenya, sehingga ia dipenjara tanpa pengadilan pada 1977.

Di penjara, Ngugi menyadari neokolonialisme sebagai mekanisme utama pemerintahan pascakolonial—bukan dalam arti kekuatan mantan penjajah, melainkan adopsi sukarela cara-cara kolonial oleh pemimpin baru, banyak di antaranya (seperti Jomo Kenyatta) pernah dipenjara Inggris.

Dekolonisasi sejati hanya mungkin jika pikiran dibebaskan dari kendali asing, dan itu dimulai dengan kebebasan menulis dalam bahasa sendiri.

Konsep neokolonialisme Ngugi—yang terinspirasi dari tulisan Kwame Nkrumah—mendahului tren “dekolonial” dan “Indigenous” di dunia akademik hampir satu generasi.

Ia sering disejajarkan dengan Edward Said, Homi Bhabha, dan Gayatri Spivak sebagai pendiri pemikiran pascakolonial. Namun, ia dan Said—yang sama-sama mengagumi Joseph Conrad—berbagi fokus mendalam pada bahasa, meski Said menulis dalam Inggris, bukan Arab.

Bagi mereka, kolonialisme belum berakhir. Bagi Said, itu terjadi melalui pendudukan Palestina; bagi Ngugi, melalui kekerasan pemerintah berturut-turut.

MEMBACA  9 Pemain Persib Bandung yang Pernah Menjadi Andalan Shin Tae-yong

Ngugi melihat kesamaannya dengan Said dalam pengalaman tumbuh di bawah penjajahan Inggris. Seperti yang ia tulis dalam kata penutup antologi tulisan tahanan Mesir, “Kekuasaan adalah inti dari budaya kolonial yang diam dan penuh ketakutan,” dan melawannya harus dimulai dengan bahasa.

Bagi Said, pergolakan bahasa Arab dan Inggris dalam pikirannya menciptakan “ketidakstabilan primal” yang hanya tenang saat ia berada di Palestina—tempat yang ia kunjungi berkali-kali di akhir hayatnya.

Bagi Ngugi, meskipun bahasa Gikuyu memungkinkannya untuk “membayangkan dunia lain, sebuah pelarian menuju kebebasan, seperti burung yang terlihat dari jendela [penjara],” ia tak bisa pulang ke tanah airnya secara permanen di tahun-tahun terakhir hidupnya.

Namun, dari kediamannya di Orange County, California, Amerika Serikat, ia tak pernah lelah mendorong murid-murid dan kolega yang lebih muda untuk “menulis dengan berani,” menggunakan bahasa sebagai alat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan yang mereka hadapi. Burung itu akan selalu terbang, katanya, jika kau bisa menulis tanpa rasa takut.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak selalu mencerminkan sikap editorial Al Jazeera.