Iran Tolak Klaim Trump Soal Permintaan Pembicaraan Nuklir Kembali | Berita Konflik Israel-Iran

Presiden AS Donald Trump dan utusan Timur Tengahnya sama-sama mengklaim bahwa pembicaraan bisa terjadi minggu depan, menyusul komentar Presiden Iran yang terbuka untuk dialog.

Iran menyatakan tidak meminta pembicaraan dengan Amerika Serikat mengenai program nuklirnya, sebagaimana diklaim oleh Presiden AS Donald Trump.

"Tidak ada permintaan pertemuan yang diajukan dari pihak kami ke pihak Amerika," kata Jubir Kemenlu Iran Esmaeil Baghaei pada Selasa, seperti dikutip oleh kantor berita Tasnim.

Klariifikasi ini muncul sehari setelah Trump, saat makan malam di Gedung Putih bersama PM Israel Benjamin Netanyahu, menyatakan bahwa Iran aktif mengupayakan negosiasi baru soal kesepakatan nuklir pasca perang 12 hari dengan Israel bulan lalu—yang juga diikuti AS.

"Kami telah menjadwalkan pembicaraan dengan Iran. Mereka ingin bicara," kata Trump kepada wartawan. "Mereka ingin mencari solusi. Sikap mereka sekarang sangat berbeda dibanding dua minggu lalu."

Utusan Timur Tengah Trump, Steve Witkoff—yang juga hadir dalam makan malam itu—bahkan menyebut pertemuan bisa terjadi dalam seminggu ke depan.

Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menulis di artikel opini Financial Times bahwa Tehran tetap tertarik pada diplomasi, tapi "kami punya alasan kuat untuk meragukan dialog lebih lanjut."

Pencabutan Sanksi

Pada 13 Juni, Israel melancarkan serangan bom tanpa preseden ke Iran yang menyasar situs militer, nuklir, hingga permukiman, menewaskan komandan militer dan ilmuwan nuklir. Otoritas Iran menyebut serangan itu menewaskan 1.060 orang. Sementara Israel menyatakan serangan balasan drone dan rudal Iran menewaskan 28 orang.

AS ikut dalam perang dengan membom situs nuklir Iran di Fordow, Isfahan, dan Natanz—beberapa hari sebelum rencana pertemuan Tehran-Washington untuk menghidupkan kembali pembicaraan nuklir. Trump kemudian mengumumkan gencatan senjata antara Israel dan Iran.

MEMBACA  Pembaruan Langsung: Konflik India-Pakistan Meningkat Menjadi yang Paling Luas dalam Beberapa Dekade

Negosiasi ini, yang bertujuan membatasi program nuklir Iran sebagai ganti pencabutan sanksi, akan menggantikan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015—kesepakatan yang ditandatangani AS, China, Rusia, Prancis, Jerman, Inggris, dan Uni Eropa—yang dibatalkan Trump di masa jabatan pertamanya.

Pada Senin, Trump menggoda prospek pembicaraan lebih lanjut sekaligus kemungkinan mencabut sanksi AS terhadap Iran—yang diberlakukan setelah AS keluar dari JCPOA dan diperketat tahun ini.

Bulan ini, AS menerbitkan gelombang sanksi baru terhadap ekspor minyak Iran, menjadi hukuman pertama terhadap sektor energi Tehran sejak gencatan senjata berakhir.

"Aku ingin, di waktu yang tepat, mencabut sanksi-sanksi itu," kata Trump.

Akhir bulan lalu, Trump sempat menyatakan sedang mempertimbangkan "pencabutan sanksi", tapi mengurungkan niatnya setelah Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyebut "kemenangan" dalam perang Iran-Israel.

Respons Terhadap Komentar Pezeshkian

Penyangkalan Tehran soal pembicaraan dengan AS muncul setelah Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengatakan kepada jurnalis AS Tucker Carlson bahwa Iran "tak masalah" melanjutkan dialog asal kepercayaan bisa dibangun kembali.

Wawancara yang tayang Senin itu memicu kritik di Iran, dengan sejumlah pihak menuduh Pezeshkian "terlalu lembut" pasca serangan bulan lalu.

"Sudah lupa bahwa Amerika dan Zionis memanfaatkan negosiasi untuk mengulur waktu dan mempersiapkan serangan?" tulis editorial koran keras Kayhan.

Koran konservatif Javan juga menyorot Pezeshkian, menyebut ucapannya "terlalu lunak".

Sebaliknya, koran reformis Ham Mihan memuji "pendekatan positif" Pezeshkian.